Sunday, November 25, 2012

Terima Kasih, Pak.

Baru saja saya membereskan berkas-berkas dokumen penting yang saya punya. Dokumen dari jaman SD sampai saat ini. Tangan saya berhenti di buku raport sampul kuning waktu saya SD. Saya buka raport itu lembar demi lembar. Seketika itu juga memori saya melayang ke 17 tahun yang lalu. Saat itu saya masih kecil, pemalu, pendiam, dan tak tau akan jadi apa saya nantinya. Saya lahir di sebuah desa kecil yang jauh dari kota. Rumah keluarga saya dulu sangat sederhana. Dindingnya setengah tembok itu juga hanya ruang tamu, sisanya kayu yang disusun. Alasnya bukan keramik dan setiap kali hujan harus siap dengan atap yang bocor.

Jangankan untuk beli baju, makan saja kadang hanya pakai nasi dan kecap atau garam. Dan saya kecil tidak pernah berharap bisa sekolah di tempat favorit apalagi sampai kuliah. Saat jaman saya masih kecil, hanya anak dari keluarga menengah ke atas yang disekolahkan di TK. Sedangkan saya yang pemalu, pendiam dan dari keluarga yang sederhana masuk TK hanya 3 hari. Waktu itu saya minder dengan teman-teman yang selalu bawa bekal makanan yang macam-macam, tas yang bagus, dan peralatan sekolah yang lucu-lucu.

Walaupun saya pendiam, saya dari kecil orangnya penasaran. Saat ibu saya mengukur baju pelanggannya dan menuliskan sesuatu di buku, saya penasaran. Teman-teman saya belajar mengenal angka dari kertas atau mainan yang disusun dalam berbagai bentuk dan warna-warni di TK. Sedangkan saya hanya belajar mengenal angka dari meteran untuk mengukur kain punya ibu saya yang seorang penjahit. Ibu saya yang sibuk menjahit sering jengkel saat saya menunjukkan meteran dan bertanya "Kie sih angka pira, Mah?", dengan bahasa saya yang ngapak, cempreng, dan penuh rasa penasaran.

Dan tiba saatnya saya masuk SD, lebih tepatnya dipaksa masuk SD karena umur saya yang sudah 6 tahun lebih 9 bulan. Hari pertama masuk SD saya datang terlambat, karena memang saya pemalu waktu itu saya hampir menangis. Saya tidak mengenal satu pun anak sekelas, sedangkan teman-teman saya sudah saling kenal sejak TK. Saya tidak tau harus duduk dimana. Semua meja penuh dan meja yang baru diisi satu orang sudah ditempati anak laki-laki. Akhirnya saya duduk dengan anak laki-laki itu. Dan teman-teman sekelas menertawai saya. Saya tidak tahu siapa mereka. Mereka masih kecil dan tak tau dosa. Mereka juga tidak tahu apa yang mereka tertawai. Tapi bagi saya mereka adalah monster yang siap menyerang dan melukai saya. Mengingat kejadiaan itu bagi saya wajar saja. Kami semua tidak tahu apa yang sebenarnya kami lakukan waktu dulu saat masih kecil.

Saat saya ingin sekali keluar dari kelas pertama saya dan menangis dipelukan ibu saya, seorang pria yang lebih pantas saya panggil Mbah menenangkan suasana. Pak Natiwan, ibu saya bilang beliau dulu guru SDnya tapi sampai saya SD beliau masih mengajar. Satu kelas hanya sebagian kecil anak yang belum pernah belajar di TK, termasuk saya. Walaupun cuma 3 hari masuk TK tapi itu sama saja tidak TK kan. Saya tidak tahu bagaimana caranya menulis. Jangankan menulis, memegang pensil saja saya tidak tahu.

Hari kedua sekolah, saya diberi buku paket. Dan saya pun tidak tahu buku itu untuk apa. Keringat saya keluar deras. Jantung saya berdetak lebih kencang. Saya melihat teman-teman sibuk dengan buku paket yang dibagikan dan sudah tahu apa yang akan dilakukan. Sedangkan saya bingung dengan kebingungan saya sendiri. Pak Natiwan mendekati saya, "Buka bukunya, Nak". Saya buka bukunya lembar demi lembar dengan cepat karena saya tidak tahu mana yang harus dibuka. "Jangan ke belakang-belakang, buka dulu halaman satu" kata Pak Natiwan mengajari saya dengan sabarnya.

Pak Natiwan mulai mengajarkan kami cara memegang pensil. Dan saya juga tidak tahu kalau halaman satu berisi cara memegang pensil. Saya tidak mau melihat buku karena saya juga tidak tahu itu isinya apa. Tapi saya perhatikan semua ucapan Pak Natiwan, kata demi kata. Akhirnya saya pun mampu memegang pensil dengan benar. Setelah itu Pak Natiwan menyuruh kami membuat garis lurus, lengkung dan miring di buku tulis kami. Lagi-lagi saya tidak tahu. Pak Natiwan memberi contoh di papan tulis, saya ikuti saja apa yang beliau lakukan.

Awal masuk SD memang saya sangat tertinggal. Di rumah tidak ada yang bisa membantu saya belajar. Ibu saya seorang penjahit yang banyak sekali pesanannya, dia harus lembur sampai larut malam untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bapak saya seorang buruh bengkel, setiap hari berangkat pagi dan sudah lelah saat pulang malam. Kakak saya laki-laki, sewaktu kecil kami lebih sering berantem dari pada bermain bersama. Tidak ada yang bisa saya andalkan. Saya harus berjuang sendiri dengan tangan yang kurus ini.

Setiap malam saya selalu membuka buku bahkan saat malam minggu sekalipun. Saya mengulang apa yang sudah diajarkan Pak Natiwan di sekolah. Saya tahu saya bodoh, maka saya harus belajar. Hingga tiba saatnya penerimaan raport yang pertama untuk saya. Dulu waktu jaman saya SD masih menggunakan sistem catur wulan (cawu) belum memakai sistem semester. Cawu pertama saya mendapatkan ranking 3. Saya tidak tahu dari mana saya bisa mendapatkan itu. Saya bukan lulusan TK, saya tidak tahu bagaimana saya bisa membaca dan menulis. Jawabannya ada di Pak Natiwan. Beliau yang membuat saya yang bukan lulusan TK bisa membaca dan menulis bahkan rangking 3 di cawu pertama dan selalu rangking tidak lebih dari 3 selama SD. 

Terima kasih, Pak. Bahkan ribuan terima kasih mungkin tidak cukup untukmu. Karenamu, saya bisa membaca ribuan kata. Karenamu, saya bisa merangkai huruf demi huruf. Karenamu, saya bisa tahu dunia ini. Karenamu, saya bisa menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi. Karenamu, saya bisa mengenal bebagai macam ilmu. Karenamu, saya bisa menulis seperti ini.

Sudah banyak saya belajar. Sudah banyak ilmu yang saya dapat. Sudah banyak guru yang saya kenal. Sudah banyak kata yang saya baca. Sudah banyak huruf yang saya tulis. Tapi itu semua tidak dapat saya lakukan tanpa kesabaranmu waktu itu yang mengajari saya yang tidak bisa menjadi bisa.

Sekali lagi terima kasih. Engkau guru saya yang sesungguhnya. Yang membuat saya mengenal guru-guru yang lainnya. Semoga Bapak selalu di tempat yang terindah.

Terima kasih, Pak. Saya bisa membaca ini.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts