Akhir-akhir ini banyak sekali
kasus pembullyan atau perundungan atau perisakan (saya pakai kata pembullyan
saja, ya). Emmm, bukan hanya akhir-akhir ini saja sepertinya. Semenjak saya
lahir pun nampaknya sudah ada pembullyan. Masa sih? Iya, hanya saja polanya
berbeda, dampaknya berbeda, motifnya berbeda, medianya berbeda, intinya beda
jaman sih. Wajarkah?
Mau bilang wajar karena sudah
terlalu sering, tapi nanti dikira tidak punya hati. Mau bilang tidak wajar
karena dampak dari pembullyan memang menyakitkan. Tapi kok terjadi lagi, ada
lagi, dan lagi-lagi.
Mengapa pembullyan terus terjadi?
Pembullyan itu bukan hanya
terjadi pada mereka yang tampilannya tidak enak dilihat, bertingkah tidak baik,
atau punya kebiasaan yang tidak wajar. Pembullyan bisa terjadi pada siapa pun.
Bahkan dia yang kaya, pintar, cantik, atau pun sukses bisa terkena pembullyan.
Karena pembullyan terjadi bukan karena kejelekan tapi karena kesempatan.
Waspadalah, waspadalah! (dan kamu membacanya dengan intonasi ala Bang Napi, you
lose!)
Manusia dibekali rasa ingin tahu.
Apalagi kita tinggal di Indonesia yang terkenal dengan bangsa yang ramah. Ramah
di sini lebih tepatnya kepo luar biasa dan gemar basa basi busuk. Keramahan
diluar batas inilah yang menjadi gerbang pembullyan. Awalnya hanya ingin tahu,
kenapa sih dia jalannya nunduk? Kemudian menjadi tahu, oh ternyata ada tompel
di pipinya. Dan berakhir pada julukan, dasar “loe tompel”. Berulang terus,
menjadikan korban tak berdaya dan pelaku menjadi-jadi.
Saya pernah menghina orang lain,
saya pun pernah dihina orang lain. Saya pernah menjadi pelaku pembullyan, pun
pernah jadi korban. Atau menjadi keduanya sekaligus dalam satu waktu. Rasanya?
Ada keadaan di mana tidak
sepenuhnya saya menjadi pelaku pembullyan. Awalnya melihat teman “bercanda”
dengan teman yang lain, sesaat terlihat menyenangkan di mata saya. Akhirnya,
saya pun ikut serta. Lama kelamaan saya melihat korban menjadi penyendiri.
Memandang saya pun tidak berani. Justru hal itu membuat saya takut. Takut
dilihat menakutkan bagi orang lain.
Di keadaan yang berbeda saya
menjadi pendiam tidak mau mengikuti pergaulan pembully. Ya, tapi saya sendiri
yang jadi korban bully. Apa dan bagaimananya tidak perlu saya jelaskan. Toh,
saya sudah berdamai dengan keadaan saya yang sudah jelek dari lahir. Oh, atau
saya menganggap diri saya jelek karena banyak yang membully saya dengan hal-hal
kurang baik.
Nasib korban bully tidak semuanya
baik. Apalagi makin memburuk ketika tahu pelaku pembullyan tidak merasa pernah
membully. Lebih buruknya lagi ada yang sampai mengakhiri hidup karena menjadi
korban bully.
Saya yakin kita semua pernah jadi
korban bully. Ketika itu terjadi, ada yang terasa seperti debu, dibasuh air
juga hilang. Ada juga yang seperti kerak, kecil nempel terus dan susah
dihilangkan. Ada yang langsung menusuk, berdarah lalu lenyap menghilangkan
nyawa.
Tapi ada satu pola yang sangat
aneh di media sosial. Pola ini adalah membully pembully.
Jadi, A membully B. Entah bagaimana C tahu kalau A
membully B. C tidak terima dengan perlakuan A kepada B karena takut B sakit
hati sampai depresi. Lalu C membagikannya di sosial media yang membuat XYZ
entah siapa jadi membully si A. Padahal bagi B bullyan A hanyalah debu yang
sekali wudhu hilang tak tersisa.
Apakah A bisa menerima bullyan
seperti B? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Bagaimana kalau tidak dan yang
ditakutkan C pada B malahan terjadi pada A. Ya, A sakit hati dan depresi. Parahnya
C merasa tidak bersalah karena dia membela B yang awalnya sebagai korban. Tapi jarum
sangat mudah berbalik arah. Kini C menjadi pelaku besar atas pembullyan. Lalu,
munculah PQRS membela A dan membully C.
Lanjut terus, rantai tidak
kunjung terputus.
Apa yang seharusnya dilakukan
saat kita menjadi A, B, C, XYZ, atau PQRS?
Tidak ada asap, tidak ada api. Pasti
ada sebabnya dan bagaimana agar sebab itu tidak terbawa angin dan menyebar ke
mana-mana? Dimulai dari diri sendiri. Sayangi dirimu dan lindungi dia agar
terhindar dari korban, tersangka, atau sekaligus korban dan tersangka
pembullyan.
Tahan diri agar orang lain tidak
tahu kekurangan kita yang mungkin bisa mengundang pembullyan. Kalau kamu tahu
korangan, dan tidak terima orang lain komentar korengmu, ya jangan dipamerin
dong. Kalau orang lain tahu korengmu tanpa sengaja, berdamailah dengan apapun
kekuranganmu. Jadi, ketika itu menjadi bahan bullyan suatu hari nanti. Kamu tetap
mampu berdiri dengan hati yang lapang.
Tahan diri jangan sampai
kata-katamu mematikan orang lain. Segeralah minta maaf, entah kamu salah atau
tidak. Percaya deh, berada dalam pertikaian sungguh membuang banyak energi. Hanya
orang yang punya energi besar mampu bertahan dalam pertikaian.
Tahan diri bila melihat
pembullyan. Nasehati keduanya baik korban atau pun pelaku. Korban hanya berada
dalam posisi yang tidak tepat sehingga dibully. Pelaku hanya sedang diwaktu
yang tidak tepat karena sesungguhnya semua manusia baik. Ia menjadi jahat bukan
karena benar-benar jahat. Hanya ada sesuatu yang kurang tepat.
Tahan diri agar pembullyan tidak
berulang, menyebar tak tentu arah. Jangan meniup angin pada bara yang mulai
padam. Kamu sama saja membakarnya kembali. Kita tidak pernah tahu apa yang
sesungguhnya terjadi.
Membully pembully tidak akan
pernah membuatmu menjadi benar. Walau awalnya kamu merasa punya hak membela yang
sedang tertindas. Ini hanya membuat standar ganda, merasa benar padahal sama
buruknya.
Sudah ya, pokoknya lindungi
dirimu sendiri. Karena yang baik padamu, hanya dirimu sendiri.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar