Thursday, April 18, 2013

Kejamnya UN

Saya yakin semua orang pasti pernah mengalami ujian. Dan ujian untuk sebagian besar orang dipandang sebagai masalah. Sebenarnya ujian bukan sekadar masalah tapi adalah tahapan menuju tingkat/jenjang yang berbeda. Contohnya, kalau mau lulus SD harus ujian dulu, kalau mau semester dua harus ikut Ujian Akhir Semester dulu, kalau mau kerja ya ujiannya nganggur dulu. Kamu udah kerja tapi belum pernah nganggur? Berarti kerjamu belum lulus. :)

Dan akhir-akhir ini di negeri kita tercinta sedang heboh-hebohnya Ujian Nasional (UN). Kalau dipikir-pikir, sebenarnya negara ini sudah sering dapat ujian atau masalah. Tidak usah dijabarkan satu-satu masalahnya apa saja. Toh, kita semua juga tau dari semua bidang ada saja masalahnya. Tapi kenapa UN tahun ini jadi heboh? Konon, UN untuk tingkat SMA tahun ini bermasalah karena tidak bisa dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia. Mengapa bisa demikian? Di berbagai media sudah ada berita lengkapnya jadi saya tidak perlu menjabarkannya disini.

Menurut saya, sebenarnya UN selalu bermasalah. Waktu saya SD tahun 2002, UN dilaksanakan dalam 1 hari. Materi yang diujikan ada 5 mata pelajaran (Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS dan PPKn) setiap mata pelajaran 20 soal jadi total 100 soal dengan waktu mengerjakan hanya 2 jam. 

Kalian yang ujian pada tahun itu pasti tahu rasanya jadi saya. Tapi bagi kalian yang tidak UN di tahun itu tidak akan mengalaminya, karena sistem ujian seperti itu hanya terjadi di tahun 2002. Setahu saya UN dengan sistem seperti itu hanya untuk uji coba. Jahat sekali yang membuat peraturan! Menempatkan kami untuk kepentingan kalian tanpa memikirkan dampak psikis yang kami alami.

Coba saja kalian bayangkan saya masih SD, polos dan lugu. Dengan ciri khas anak SD yang kalau mengerjakan soal pasti lembar jawabannya ditutupi dan kalau ada teman yang mencontek langsung diadukan ke guru. Dan belum terbiasa dengan LJK. Untuk menghadapi UN saja kami sudah punya rasa takut dan khawatir. Belum lagi harus belajar 5 mata pelajaran dari kelas 4, 5 dan 6. Dan dikerjakan dalam 2 jam saja. Jelas saja anak seperti saya menganggap hidup dan mati saya ditentukan dalam waktu 2 jam itu.

Dengan sistem ujian seperti itu sangat berat untuk saya. Waktu itu saya sampai sakit saat ujian berlangsung. Tapi untungnya hasil UN tidak mengecewakan. Saya bisa peringkat pertama di sekolah, padahal saya tidak pernah peringkat pertama dari kelas 1 SD.

Itu cerita saya waktu SD yang tinggal di pulau Jawa dengan tingkat kemapanan pendidikan yang tinggi di Indonesia. Coba saja bayangkan teman-teman kita yang di luar pulau Jawa. Yang (maaf) tingkat pendidikannya lebih rendah dari kita yang tinggal di pulau Jawa. Kalau pernah liat film Laskar Pelangi, kalian bisa tau gambaran kecil dari teman-teman kita yang di luar pulau Jawa saat ujian. Dan coba saja bayangkan anak seperti mereka harus ujian 5 mata pelajaran dalam waktu 2 jam, 100 soal. Saya saja sampai sakit. Lebih mengenaskannya lagi kami hanya kelinci percobaan dari pemerintah saat itu. Oh, Indonesia!

Dengan hasil yang memuaskan waktu UN SD saya bisa masuk SMP favorit. Dan lagi-lagi saat UN SMP tahun 2005, tahun dimana saya ikut UN. Pemerintah menerapkan sistem baru. Kalau biasanya kita mengerjakan UN dengan sistem pilihan ganda, UN tahun 2005 tidak hanya pilihan ganda tapi ada 5 soal dalam bentuk uraian. Dan ada standar minimum nilai yang harus dipenuhi (saya lupa berapa nilai minimum yang harus dipenuhi). Kalau kurang dari itu dinyatakan tidak lulus. 

Kesulitan UN tahun itu ada pada saat menjawab soal uraian. Walaupun hanya 5 soal tapi kalau jawaban salah sedikit langsung coret. Tidak ada nilai upah nulis. Untungnya mata pelajaran yang diujikan hanya 3 (Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) dan dilaksanakan 3 hari, tidak seperti waktu SD yang langsung 5 mata pelajaran dalam waktu 2 jam. Dan untungnya sekolah saya tidak kebagian UN dengan sistem seperti itu. Hanya sekolah yang dipilih saja yang mendapatkan sistem UN seperti itu.

Walaupun saya tidak merasakannya, tapi teman saya dari SMP lain yang mendapatkan sistem seperti itu sangat kasian. Di SMP teman saya banyak yang tidak lulus. Dan lebih kasian lagi, mereka hanya kelinci percobaan. Setelah itu tidak ada lagi sistem UN dengan soal uraian.

Lulus SMP saya meneruskan ke SMK bukan SMA. Saat UN tahun 2008, pemerintah menerapkan sistem yang berbeda lagi. Nilai minimum yang harus dipenuhi 4,25. Kalau kurang dari itu tidak lulus dan tidak ada ujian susulan. Anak yang tidak lulus harus ikut kejar paket C atau mengulang kelas 3 lagi. Untuk mata pelajaran ada tambahan 1 mata pelajaran sesuai dengan jurusan yang diambil. Karena saya mengambil jurusan Akuntansi, ya ditambah pelajaran Akuntansi. Waktunya masih sama dengan SMP, 1 hari untuk 1 mata pelajaran. Soal juga dibagi 2 paket (A dan B), masing-masing paket soalnya berbeda.

Kesulitan waktu itu pada nilai minimum yang harus dipenuhi. Dan sedikit susah contek-contekan. SMA memang berbeda dengan SD, yang kalau ujian tingkat kejujurannya masih tinggi. Walaupun begitu tidak semua anak SMA tidak jujur, tetap saja ada anak yang masih percaya diri mengerjakan sendiri.

Saya sangat beruntung bersekolah di SMK Negeri bukan Swasta. Atmosfir lingkungan yang optimis dapat mencapai target yang disyaratkan membuat saya tidak begitu cemas menghadapi ujian. Tetapi bagaimana dengan teman-teman kita yang sekolah di swasta atau pedalaman Indonesia? 

Guru saya yang mendapat jatah mengawasi ujian di sebuah sekolah swasta dan di daerah yang jauh dari pusat kota bercerita: "Ada anak yang Ibu awasi tangannya tidak bisa bergerak saking takutnya". Target 4,25 membuat anak itu ketakutan. Saya masih ingat, waktu pengumuman di daerah lain ada yang sampai mau bunuh diri gara-gara tidak lulus UN.

Itu baru sedikit cerita, dari ribuan cerita kejamnya UN yang dari tahun ke tahun peraturannya selalu diubah. Kalau diubah seharusnya ada evaluasi dari tahun sebelumnya, tapi kenapa bukan semakin baik tapi semakin buruk? Dan UN tahun ini masalah terbesarnya adalah distribusi soal yang terlambat. Sehingga UN di 11 provinsi terpaksa diundur. Ditambah lagi kata mereka yang sudah UN, LJKnya tipis sehingga kertas mudah sobek. Selain itu soalnya ada 20 paket, yang katanya untuk menghindari terjadinya contek-mencontek. Dan banyak soal yang tertukar, kurang atau malahan kelebihan. Akhirnya beberapa sekolah harus mengkopi soal dan LJK. Ujian yang tingkatnya Nasional itu harus dikerjakan di lembar fotokopian! Oh, Indonesia!

Itu masalah teknis. Lalu apa dampaknya ke psikis tiap anak? Sudah pasti itu sangat mempengaruhi konsentrasi siswa yang akan ujian. 11 provinsi yang mengalami keterlambatan itu ternyata di luar pulau Jawa. Sekali lagi, (maaf) teman-teman kita yang di luar pulau Jawa tingkat kemapanan pendidikannya berada di bawah anak-anak yang tinggal di pulau Jawa. Teknis mungkin bisa diatasi tapi bagaimana dengan mental mereka? Apakah pemerintah juga mencari cara mengatasinya?

Tadi saya membaca berita di Deli Serdang, siswa yang tidak mengikuti UN tetap bertahan di kelas sampai bel pulang sekolah. Mereka hanya mengobrol di kelas, mengapa tidak pulang saja dan belajar di rumah? Alasannya, karena pihak sekolah takut orang tua mereka berkecil hati gara-gara anaknya tidak jadi UN. Mereka adalah anak orang miskin yang orang tuanya mungkin tidak mengenyam bangku sekolah atau mungkin hanya SD saja. Dan tidak mudah memberikan pemahaman kepada mereka masalah teknis yang menghambat pelaksanaan UN. Coba saja kalian bilang ke mereka "Pendistribusian soal UN terlambat karena bla bla bla bla". Mereka malahan balik tanya, "Pendistribusian itu apa?".

Tidak semua orang tua dan siswa bila diberi penjelasan langsung mengerti. Kalau mereka tidak terima, dan protes ke sekolah. Dan terjadi cekcok dengan pihak sekolah yang dinilai tidak becus mengurus UN. Padahal ini bukan salah sekolah, tapi guru di sekolah yang harus menghadapi itu di lapangan.

Belum lagi kalau ada kesenjangan antar siswa. Sekolah A sudah UN, sekolah B belum UN. Soal SMA tertukar dengan soal SMK yang kurikulumnya berbeda. Iya, kalau mereka bisa mengerti keadaaan sesama teman. Kalau mereka saling ejek, perselisihan dan kecemburuan sosial mungkin saja bisa terjadi.

Apakah pemerintah mau memperbaiki mental mereka yang down setelah ditundanya UN tahun ini dengan berbagai masalah teknis yang terjadi? Apakah mereka yang berlomba-lomba memenangkan tender proyek UN ini tahu rasanya mengerjakan UN? Masih haruskah pendidikan ini hanya untuk kepentingan bisnis saja?

Percuma pemerintah mencoba mencari solusi ini-itu, para ahli (katanya sih ahli) ngumpruk di tivi dengan alasan ini-itu. Toh, yang kalian buat kacau mereka-mereka yang tidak tahu apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menghadapi UN yang normal saja mereka punya rasa takut sendiri. Di atas juga saya sudah bercerita ada anak yang saking takutnya sampai tangannya tidak bisa bergerak.


Harusnya sebelum UN dilaksanakan para pemenang tender dan Kementerian Pendidikan yang bertanggung jawab dengan semua ini, melakukan uji coba UN. Dan uji coba UN itu dilakukan sendiri oleh kalian yang membuat sistem. Jangan diuji coba saat UN berlangsung! Dan jangan perlakukan kami sebagai kelinci percobaan! Dan tolong jangan mengubah sistem terlalu sering supaya kalian dianggap bekerja. Kalau sudah ada sistem yang baik, ya sudah tidak usah diubah lagi. Kalian dianggap bekerja bukan karena senang mengubah sistem dan membuat rating tinggi di media. Tapi bisa melaksanakan UN yang baik dan tidak membuat keresahan di masyarakat, itu sudah cukup.


Iya, kalau kami bisa mengendalikan emosi dalam menghadapi UN. Tapi kenyataannya tidak semua di antara kami memiliki mental yang sama. Iya, kalau di antara kami hanya sakit kepala. Kalau sampai ada yang bunuh diri, apakah pemerintah mau bertanggung jawab? Iya, kalau anak yang bunuh diri itu punya saudara yang banyak. Jadi orang tuanya masih punya harapan kepada saudaranya yang lain. Kalau anak itu ternyata anak satu-satunya dan harapan terbesar orang tuanya di masa yang akan datang. Apakah pemerintah mau bertanggung jawab?


Cobalah Pak Menteri datang blusukan ke daerah lihat langsung keadaan di lapangan. Bapak tidak usah khawatir dicap 'pencitraan' kalau nyatanya untuk masa depan pendidikan yang lebih baik.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts