Saturday, September 22, 2018

Membully Pembully

Akhir-akhir ini banyak sekali kasus pembullyan atau perundungan atau perisakan (saya pakai kata pembullyan saja, ya). Emmm, bukan hanya akhir-akhir ini saja sepertinya. Semenjak saya lahir pun nampaknya sudah ada pembullyan. Masa sih? Iya, hanya saja polanya berbeda, dampaknya berbeda, motifnya berbeda, medianya berbeda, intinya beda jaman sih. Wajarkah?
Mau bilang wajar karena sudah terlalu sering, tapi nanti dikira tidak punya hati. Mau bilang tidak wajar karena dampak dari pembullyan memang menyakitkan. Tapi kok terjadi lagi, ada lagi, dan lagi-lagi.

Mengapa pembullyan terus terjadi?


Pembullyan itu bukan hanya terjadi pada mereka yang tampilannya tidak enak dilihat, bertingkah tidak baik, atau punya kebiasaan yang tidak wajar. Pembullyan bisa terjadi pada siapa pun. Bahkan dia yang kaya, pintar, cantik, atau pun sukses bisa terkena pembullyan. Karena pembullyan terjadi bukan karena kejelekan tapi karena kesempatan. Waspadalah, waspadalah! (dan kamu membacanya dengan intonasi ala Bang Napi, you lose!)

Manusia dibekali rasa ingin tahu. Apalagi kita tinggal di Indonesia yang terkenal dengan bangsa yang ramah. Ramah di sini lebih tepatnya kepo luar biasa dan gemar basa basi busuk. Keramahan diluar batas inilah yang menjadi gerbang pembullyan. Awalnya hanya ingin tahu, kenapa sih dia jalannya nunduk? Kemudian menjadi tahu, oh ternyata ada tompel di pipinya. Dan berakhir pada julukan, dasar “loe tompel”. Berulang terus, menjadikan korban tak berdaya dan pelaku menjadi-jadi.

Saya pernah menghina orang lain, saya pun pernah dihina orang lain. Saya pernah menjadi pelaku pembullyan, pun pernah jadi korban. Atau menjadi keduanya sekaligus dalam satu waktu. Rasanya?

Ada keadaan di mana tidak sepenuhnya saya menjadi pelaku pembullyan. Awalnya melihat teman “bercanda” dengan teman yang lain, sesaat terlihat menyenangkan di mata saya. Akhirnya, saya pun ikut serta. Lama kelamaan saya melihat korban menjadi penyendiri. Memandang saya pun tidak berani. Justru hal itu membuat saya takut. Takut dilihat menakutkan bagi orang lain.

Di keadaan yang berbeda saya menjadi pendiam tidak mau mengikuti pergaulan pembully. Ya, tapi saya sendiri yang jadi korban bully. Apa dan bagaimananya tidak perlu saya jelaskan. Toh, saya sudah berdamai dengan keadaan saya yang sudah jelek dari lahir. Oh, atau saya menganggap diri saya jelek karena banyak yang membully saya dengan hal-hal kurang baik.

Nasib korban bully tidak semuanya baik. Apalagi makin memburuk ketika tahu pelaku pembullyan tidak merasa pernah membully. Lebih buruknya lagi ada yang sampai mengakhiri hidup karena menjadi korban bully.

Saya yakin kita semua pernah jadi korban bully. Ketika itu terjadi, ada yang terasa seperti debu, dibasuh air juga hilang. Ada juga yang seperti kerak, kecil nempel terus dan susah dihilangkan. Ada yang langsung menusuk, berdarah lalu lenyap menghilangkan nyawa.

Tapi ada satu pola yang sangat aneh di media sosial. Pola ini adalah membully pembully.

Jadi,  A membully B. Entah bagaimana C tahu kalau A membully B. C tidak terima dengan perlakuan A kepada B karena takut B sakit hati sampai depresi. Lalu C membagikannya di sosial media yang membuat XYZ entah siapa jadi membully si A. Padahal bagi B bullyan A hanyalah debu yang sekali wudhu hilang tak tersisa.

Apakah A bisa menerima bullyan seperti B? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Bagaimana kalau tidak dan yang ditakutkan C pada B malahan terjadi pada A. Ya, A sakit hati dan depresi. Parahnya C merasa tidak bersalah karena dia membela B yang awalnya sebagai korban. Tapi jarum sangat mudah berbalik arah. Kini C menjadi pelaku besar atas pembullyan. Lalu, munculah PQRS membela A dan membully C.

Lanjut terus, rantai tidak kunjung terputus.

Apa yang seharusnya dilakukan saat kita menjadi A, B, C, XYZ, atau PQRS?

Tidak ada asap, tidak ada api. Pasti ada sebabnya dan bagaimana agar sebab itu tidak terbawa angin dan menyebar ke mana-mana? Dimulai dari diri sendiri. Sayangi dirimu dan lindungi dia agar terhindar dari korban, tersangka, atau sekaligus korban dan tersangka pembullyan.

Tahan diri agar orang lain tidak tahu kekurangan kita yang mungkin bisa mengundang pembullyan. Kalau kamu tahu korangan, dan tidak terima orang lain komentar korengmu, ya jangan dipamerin dong. Kalau orang lain tahu korengmu tanpa sengaja, berdamailah dengan apapun kekuranganmu. Jadi, ketika itu menjadi bahan bullyan suatu hari nanti. Kamu tetap mampu berdiri dengan hati yang lapang.

Tahan diri jangan sampai kata-katamu mematikan orang lain. Segeralah minta maaf, entah kamu salah atau tidak. Percaya deh, berada dalam pertikaian sungguh membuang banyak energi. Hanya orang yang punya energi besar mampu bertahan dalam pertikaian.

Tahan diri bila melihat pembullyan. Nasehati keduanya baik korban atau pun pelaku. Korban hanya berada dalam posisi yang tidak tepat sehingga dibully. Pelaku hanya sedang diwaktu yang tidak tepat karena sesungguhnya semua manusia baik. Ia menjadi jahat bukan karena benar-benar jahat. Hanya ada sesuatu yang kurang tepat.

Tahan diri agar pembullyan tidak berulang, menyebar tak tentu arah. Jangan meniup angin pada bara yang mulai padam. Kamu sama saja membakarnya kembali. Kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

Membully pembully tidak akan pernah membuatmu menjadi benar. Walau awalnya kamu merasa punya hak membela yang sedang tertindas. Ini hanya membuat standar ganda, merasa benar padahal sama buruknya.

Sudah ya, pokoknya lindungi dirimu sendiri. Karena yang baik padamu, hanya dirimu sendiri.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts