Sunday, September 11, 2016

Tumbuh Bersama Kereta Api



Di dunia ini banyak sekali jenis alat transportasi yang memudahkan kita berkunjung dari satu tempat ke tempat lain. Jujur saja kalau aku pergi kemana-mana, pertama yang menjadi bahan pertimbangan soal harga. Cari yang paling murah, kedua baru cari yang paling nyaman. Setelah mencoba alat transportasi dari berbagai macam model, aku paling suka naik kereta api. Rasanya begitu nyaman dan rindu ingin naik lagi.
foto koleksi pribadi, ig: @kisahkasih_

Aku tidak ingat kapan persisnya pertama kali naik kereta api. Waktu kecil naik kereta api selalu ke Jakarta karena keluarga banyak yang tinggal di sana. Semenjak kuliah dan merasa bebas pergi kemana saja, berbagai tujuan aku coba. Bahkan hanya iseng dari Stasiun Purwokerto ke Maos pun pernah aku coba.

Puluhan tahun menjadi kendaraan favorit, aku pun merasakan tumbuh bersama kereta api. Dari jaman berdesakan berebut kursi. Tidur di lorong sempit harus menekuk kaki. Jadwal yang susah diprediksi kapan kereta datang dan pergi. Penumpang gelap tanpa tiket tetap bisa naik walau tak ada tempat lagi. Penjual hilir mudik tanpa henti. Tak terlihat bedanya pencopet dan pencari sesuap nasi.

Entah kapan kejadiannya, aku lupa. Yang aku ingat waktu itu tubuhku terlalu kecil untuk berdesak-desakkan, menempuh perjalanan berjam-jam dari Jakarta menuju kampung halaman. Aku diam menahan tangis dipelukan ibuku. Kami berdua hanya bisa duduk di depan pintu toilet yang tidak pernah dibersihkan. Bau pesingnya sudah pasti tidak ketulungan.

Telingaku mendengar isak tangis yang bukan dari aku ataupun ibuku. Mataku mengintip mencari sumber suara itu dari balik pelukan ibuku. Seorang perempuan muda, berambut panjang dan berbaju merah yang menangis di depan pintu gerbong.
Ibuku bertanya, “Mba, kenapa?”
“Saa...y.ya.. kkeco..ppee..tan bu,” jawabnya sambil menahan isak tangis.

Pelukan ibuku semakin terasa erat. Memberi isyarat padaku bahwa aku akan baik-baik saja dalam pelukannya. Atau sesungguhnya, itu kekhawatiran ibuku yang melampiaskannya dengan memelukku lebih erat. Seorang bapak akhirnya memberikan uang secukupnya untuk bekal perempuan itu pulang.

Kejadian seperti itu sebenarnya cukup membuat aku trauma. Mungkin karena aku masih terlalu kecil untuk menerimanya. Baca tulis saja aku belum bisa. Apalagi aku hanya anak kampung yang terbiasa hidup damai, aman, dan tentram. Tapi kalau sudah nyaman mau bagaimana lagi. Kereta yang lajunya tidak pernah mengerem mendadak, menikung tajam, atau membuat penumpangnya tergoncang karena medan perjalanan. Tetap menjadi transportasi andalan.

Sekarang, semua tertata rapi. Kenyamanan terasa sampai kelas paling rendah, ekonomi. Semakin menjadi transportasi idaman hati ini. Tapi perjalanan tidak akan berarti apa-apa tanpa siapa yang menemani. Sepanjang jalan berbagi cerita tanpa henti. Sekali-kali menertawakan diri sendiri. Atau membuat kenangan yang akan dirindukan suatu hari nanti.

Stasiun Kroya pukul 06.02 menunggu Logawa datang

Logawa yang mengantarku sampai ke Jember

Perjalanan terpanjangku dengan kereta api baru saja terjadi beberapa bulan lalu. Dengan kereta Logawa dari Stasiun Kroya sampai Jember. Tiga belas jam lebih aku nikmati, dengan seorang teman dan penumpang lain yang naik turun di stasiun yang kami lalui. Membaca bukunya Okky Madarsari yang 86, aku lakukan sesekali. Ketika obrolan dengan temanku sudah tidak ada lagi.

Aku dan 86-nya Okky Madarsari
Tiba ketika di Stasiun Nganjuk kereta berhenti. Sudah tidak banyak penumpang yang naik turun lagi. Seorang perempuan beransel ala pendaki, memberi petunjuk kepada seorang nenek, “Mbah, duduknya di sini.” Nenek itu bersama cucunya yang berumur lima tahun, anaknya imut sekali. Dan perempuan tadi bukanlah cucunya, dia hanya membantu mencarikan kursi.

Jonathan lagi ngemil.
Jonathan namanya, ditinggal orang tuanya bekerja di Batam dari umur tiga bulan. Dirawat neneknya dengan penuh kasih sayang, yang sekarang berumur 66 tahun. Aku memberinya cemilan, sambil menggodanya sesekali. Dia beberapa kali tertawa mendengar guyonanku. Sampai seorang anak perempuan kursi depan yang seusia Jonathan mengintip malu-malu. Penasaran mendengar kami becanda.
Anak yang penasaran mendengar aku dan Jonathan becanda
Sesekali Jonathan mengeja tulisan apa saja yang dia lihat. 86 yang aku bawa tidak luput dari keisengannya. Setiap stasiun yang kami lalui, dia baca nama stasiunnya. Dengan ejaan khas anak baru bisa membaca. Dia juga bercerita kaos yang dia pakai adalah hadiah lomba mewarnai ikan. Untungnya Jonathan tumbuh menjadi anak yang pintar dan pemberani.
Aku tanya dia, “Jo, senang ngga naik kereta?”
“Senang,” jawabnya sambil terus makan cemilan yang aku berikan.

Melihat Jonathan, mengingatkanku saat naik kereta bersama ibuku puluhan tahun yang lalu. Mungkin saat itu aku seumuran Jonathan. Belum bisa membaca dan dihantui ketakutan sepanjang jalan. Lain dulu, lain sekarang. Kereta api sudah bisa membuat nyaman dan aman semua penumpang.

Ini bukan sekedar perkembangan sebuah alat transportasi. Tapi juga manusianya yang ikut bertumbuh bersamanya. Kadang terbesit rindu makan pecel di kereta. Tapi tanpa pecel, semua penumpang bisa nyaman selama perjalanan. Pertumbuhan alat transportasi memang penting. Tapi lebih penting lagi manusia yang membuat alat transportasi itu hidup. Hidup dan menghidupi demi kelangsungan hidup bersama.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts