Seorang petani merindu musim
hujan, agar sawahnya basah, padinya lekas menguning indah. Seorang nelayan
merindu musim surut, agar dapat melaut, tanpa gelombang tinggi yang membuat
kapalnya hanyut. Seorang penjual terompet merindu musim tahun baru, dimana orang-orang
meniupkan lembar demi lembar uang di saku. Seorang ibu merindu musim lebaran,
dimana anaknya yang nan jauh di rantau pulang.
photo by instagram.com/kisahkasih_ |
Sedangkan aku sedang berada di
musim rindu. Musim yang datang dan perginya mengalahkan jelangkung. Sungguh aku
tidak bisa menahan, mengatur, bahkan mengendalikan musim rindu. Musim dimana
hanya aku yang rasa. Orang-orang mana mau tahu. Bahkan kamu yang aku rindu pun mungkin
tak merasa. Seperti daun yang jatuh tanpa angin, tanpa kemarau. Dan jangan
tanya kenapa? Karena aku pun tak tahu jawabnya.
“Pesan apa, Mba?” tanya seorang
pelayan laki-laki yang aku tak tahu siapa namanya. Masih ingatkah kamu? Dulu
Siti yang suka menanyai hal ini. Masih melekat di benakku, nama gadis yang
lebih muda dariku itu namanya bukan Siti. Hanya kamu dengan gaya menggodamu,
memanggil dia Siti. Dia pun menggodamu balik dengan memalingkan tubuhnya yang
ramping. Pergi meninggalkan rayuanmu yang justru semakin membuatmu tergoda.
“Capuccino latte,” jawabku sambil
tersenyum, tanpa melihat daftar menu lagi. Kamu pasti tahu kenapa. Ah, bahkan
aku sangat ingat sebelum aku duduk di kursi ini, kamu sudah memesankan itu
untukku. Atau kamu bermain-main dengan Bang Arkan, si seniman kopi. Meracik
secangkir capuccino latte spesial hanya untukku, yang kamu gadang-gadang
tanganmu sendiri yang penciptanya.
Bibirku selalu menyambut dengan
suka cita setiap ciptaanmu. Walau sebaiknya Bang Arkan saja yang membuatnya.
Bukan, ini bukan soal rasa. Tanganmu memang cakap meracik kopi, lebih-lebih
membuat berantakan penjuru meja kerja Bang Arkan. Itu dulu. Sekarang si pembuat
kacau itu tidak ada lagi. Jangankan si pembuat kacau, si seniman kopi itu pun
sudah tidak aku cium lagi khas wangi kopinya. Kamu tidak perlu khawatir dengan
kerinduanku pada Bang Arkan, baru saja penggantinya tersenyum padaku.
Mengacungkan sebuah cangkir seperti berkata, “Spesial untukmu.”
Dari jendela ini terlihat jelas di
luar gerimis mulai turun. Hujan kali ini turun perlahan, syahdu membentuk nada
rindu. Seperti waktu itu, saat pertama aku melihatmu. Aku tengah dalam
kepanikan mengambil jas hujan, bagasi motorku susah sekali dibuka. Sementara
hujan mulai melepekkan rambutku yang keriting. Kamu pun datang dengan payung di
genggaman tangan kirimu yang keras itu.
Tidak ada kata yang bisa ku ucap,
kamu pun hanya memberi tanda dengan anggukan kecil supaya aku memegang payungmu.
Dan tangan kekarmu itu mulai membuka bagasi motorku. Hanya sekali sentuh dengan
mudahnya bagasi itu bisa kamu buka. Itu lah saat pertama aku mulai
memperhatikan apapun yang ada di dirimu. Dan tahukah kamu dari tempat aku duduk
sekarang, itu semua terlihat begitu jelas. Seperti sedang melihat film, ingin
aku reff dan pause selama yang aku mau.
Ada kalanya saat kita mengingat
masa lalu, membuat kita tersenyum kemudian tertawa sendiri. Sekarang, di tempat
ini, aku mengingat semua tentang dirimu. Tentang kita. Tergambar jelas guratan
senyummu yang manis, semanis brownies kesukaanku. Tawamu yang nyaring
mengiringi nada suka cita.
Sekarang, aku sedang duduk di
tempat favoritku. Sedang melihat tempat duduk yang dulu menjadi favoritmu. Aku masih
sendiri seperti biasa. Di tempat kamu dan teman-temanmu yang biasanya itu, ada
segerombolan anak sedang duduk di sana. Mungkin mereka bersahabat seperti kamu
dan teman-temanmu waktu itu.
Bedanya, kamu dan teman-temanmu
bisa tertawa tanpa henti karena lelucon dari Jono, temanmu yang paling kocak
itu. Sekarang, segerombolan anak itu tengah duduk diam menghadap layar laptop,
tablet, atau handphone di hadapan mereka masing-masing. Sepi, tanpa kata. Oh,
sekali-kali mereka terkekeh. Tentunya terkekeh sendiri karena lelucon dari
layarnya, yang tidak dibalas kekehan lagi oleh layarnya.
photo by instagram.com/kisahkasih_ |
Aku hanya penikmatmu dari sini
dari kejauhan. Hanya terhalang sepasang meja dan kursi saja, rasanya sudah
sangat jauh dariku. Aku menulis ribuan sajak disini untukmu. Semakin banyak
semakin aku merasa jarakku dan kamu semakin bertambah. Aku pikir kamu tidak
akan pernah mau tahu siapa aku. Jangankan ingin tahu, aku merasa hanya debu
dalam hidupmu. Sekali kau tiup aku akan hilang terbawa angin.
Tapi tidak dengan buku yang ada
di tanganku sekarang. Kamu begitu dekat, sangat dekat denganku. Bagaimana
tidak, buku ini berisi semua hal tentangku.
Tentang aku yang tengah menulis
ribuan sajak untukmu di kursi ini.
Tentang rambutku yang mengembang
menutupi wajahku, dari sinar matahari pagi yang menembus jendela di sampingku.
Tentang aku yang tengah susah
payah membuka gembok sepedaku di parkiran. Tentang aku yang tidak punya tenaga
menghidupkan motorku. Ah, aku payah dalam berkendara.
Tentang aku yang ketiduran di
meja ini dengan buku berserakan dimana-mana.
Tentang aku dan capuccino latteku
yang tengah memandang syahdu hujan sore itu.
Tentang aku yang menggigit jariku
yang sedang panik akan menghadapi ujian kala itu.
Tentang aku, semuanya kamu lebih
tahu dari pada aku sendiri.
Dan kamu mengumpulkan coretan
pensilmu dalam satu buku ini. Hanya tentangku.
Sungguh ini terlalu, bahkan
sampai pengumuman kelulusan aku sama sekali belum memperkenalkan diriku padamu.
Tapi kamu, ya kamu, kamu membuat buku ini seolah-olah mengenalku ribuan tahun
lamanya. Coretan pensil sketsamu memberi nyawa di setiap gambarku. Kamu tahu,
setiap aku menghembuskan napas di tempat yang sama denganmu dadaku terasa
sesak. Sesak sekali karena aku tak bisa mengatakan sepatah kata pun padamu,
tapi kamu selalu bermain-main di kepalaku.
Sungguh ini menyiksaku, lebih
menyiksa lagi karena ada buku ini di tanganku sekarang. Menyiksa karena kita
dalam satu ruang yang tersiksa bersamaan, tanpa tahu satu sama lain saling
menyiksa. Entah apa dosaku sampai menyiksamu seperti ini? Aku mohon maafkan
aku. Maafkan aku yang hanya bisa mencintaimu diam-diam sampai pada detik ini.
Yang melukaimu, melukai aku, melukai kita.
Sungguh aku rindu penyiksaan ini.
Aku rindu kamu yang menyiksaku dalam setiap hembusan napasku. Dalam setiap kata
yang aku tulis untukmu. Aku rindu kamu yang juga menggambarkanku dalam setiap
kertas sketsamu, dalam diammu. Rindu ini sebentar lagi membunuhku. Aku mohon
jika kamu ada di hadapanku sekarang, katakan satu saja. Walau itu hanya, “Hai,
apa kabar?”
Prediksi Angka Togel Aman Dan Terpercaya
ReplyDelete