Friday, December 28, 2018

Tidak Ada Bencana Alam



Telinga saya memanas dan hati saya menghangat ketika mendengar kabar itu. Sama seperti kalian, dalam hati saya juga timbul banyak tanya, “Kenapa?”. Kejadian demi kejadian datang silih berganti. Menyisakan duka yang tidak tahu kapan pulihnya lagi.

Kalian tahu, kesedihan saya makin bertambah ketika membuka blog saya ini. Kenapa? Karena artikel yang saya tulis di tahun 2015 yang berjudul Stop Share Foto Korban Kekerasan/Kecelakaan, selalu bertambah pengunjungnya setiap kali ada berita duka. Ini bukan hal baik, saya tidak bangga dengan hal ini.

Tiga tahun berlalu dan masih banyak orang yang senang membagikan foto-foto korban apapun itu. Waktu kecelakan pesawat yang di perairan Karawang, banyak beredar vidoe atau foto korban di media sosial. Bahkan sempat trending di youtube. Seorang teman memutarnya berkali-kali dan menunjukannya kepada saya video tersebut.

Saya bilang ke teman saya, jangan lihat video seperti itu, selain tidak sopan kan kasihan juga korbannya. Dan teman saya bilang, tapi aku penasaran. Saya mencoba menjelaskan seperti apa yang pernah saya tulis sebelumnya. Bagaimana kalau dia yang ada di posisi korban? Bahkan saya bilang itu hanya mengotori otakmu. Yang punya akun youtube enak, viewers banyak dapat untung. Lah, kalian yang nonton hanya dapat pikiran negatif.

Tapi teman saya justru berdalih, itu yang nge-video-in aja tim penyelamnya berarti boleh dong buat tontonan. Duh, Gustiiii.....

Ternyata itu belum seberapa. Masih banyak yang lebih parah dari itu. Kita semua tahu tahun 2018 ini banyak sekali peristiwa yang memilukan. BNPB mencatat 2.426 duka terjadi di tahun 2018. Sebut saja di antaranya gempa Lombok, tsunami Palu, dan yang terbaru tsunami Selat Sunda. Ada ribuan korban meningal dunia, hilang, dan luka-luka serta jutaan orang mengungsi. Coba bayangkan kalau salah satu di antaranya adalah kita, saudara kita, atau orang yang kita kenal.

Saya masih ingat ketika gempa Lombok, saya menghubungi teman-teman yang ada di Lombok. Teman-teman yang saya temui ketika saya trip Lombok sendirian dan ada juga teman lama yang sekarang tinggal di Lombok. Yang mengejutkan ketika saya tanya bagaimana keadaan mereka. Jawaban mereka kurang lebih sama, aku baik-baik saja tapi hoax membuat ini tidak baik-baik saja.

Sungguh saya tidak tahu harus menjawab apa ketika mendapati jawaban itu. Kalau mereka bilang kekurangan logistik, kemungkinan besar saya bisa bantu entah bagaimana caranya. Tapi bagaimana caranya melawan orang bar-bar di internet? Bahkan kemungkinan besar mereka sudah terstruktur dan bekerja dengan masif. Ada penggerak yang membuat orang-orang ini melakukan hal tersebut. Maaf, saya berpikir positif, kalian sesungguhnya manusia yang masih punya hati. Tidak mungkin melakukan hal seperti itu tanpa dorongan/alasan yang kuat.

Kalian tentu ingat bagaimana orang-orang berkomentar di media sosial. Mengaitkan dengan agama, azab, politik, dan banyak isu hoax lainnya. Panas sekali, bahkan neraka pun minder dengan komentar warganet penyebar hoax pencipta propaganda itu.

Tidak hanya gempa Lombok, tsunami Palu, tsunami Selat Sunda, tapi juga duka yang lainnya. Selalu ada saja yang mengaitkannya dengan hal lain yang di luar nalar. Bahkan lebih parahnya ada saja yang mengutuk korban. Coba kalian bayangkan, keluarga kalian meninggal terseret ombak. Kalian sedang menangis kehilangan, tiba-tiba ada yang bilang, “Makanya banyak ibadah.” Terus manusia yang banyak ibadah tidak akan pernah mati kah atau bagaimana? Sombong, Anda!

Gini loh, ya...

Saya memang bukan ahli agama apalagi geologi, geofisika, atau apapun itu. Saya hanya manusia biasa sama seperti kalian. Jadi, sikap saya ini hanya ingin dilihat sebagai manusia tidak lebih tidak kurang. Saya manusia tercipta dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sama seperti makhluk ciptaan Tuhan lainnya seisi alam semesta. Kita semua punya cara agar bisa hidup berkesinambungan saling melengkapi satu sama lain.

Yang hidup di alam semesta ini bukan hanya manusia. Jangan egois! Kamu pikir batu tidak berhak melunak. Jangan karena kamu punya otak lantas bisa seenaknya mau berpikir apa. Jangan merasa paling bisa merasa, kalau masih mudah menghina.

Asal tahu saja alam ini tetap akan lestari tanpa campur tangan manusia. Omong kosong alam ini hancur karena manusia tidak mau merawatnya. Gunung rela meletus agar tanah tetap subur. Daun rela berguguran agar pohon tetap tegak berdiri. Bumi rela retak agar yang lain bisa rekat. Apa mereka butuh manusia? Tidak.

Lalu apa yang terjadi dengan manusia?

Mereka hanya bisa menggunakan itu untuk mengutuk, menghina, mencaci, dan memaki. Lucunya segala hal disangkut-pautkan. Dicari-cari penyebabnya agar punya bahan gunjingan. Pokoknya harus ada yang disalahkan! Jangan menyerah sebelum ada baku hantam!

Katanya sih, kalau sudah mencaci berdalih mengingatkan sesama umat bisa menambah keimanan. Masa sih? Ini saya yang terlalu kafir atau memang bebal tidak mau tahu.

Oke lah, kalau alam punya cara dan Tuhan juga punya caranya sendiri. Boleh kok Tuhan murka, ya masa tidak boleh kan Dia pemilik seisi semesta. Tapi kau harus tahu segala hal yang Tuhan lakukan adalah karena kasih dan sayang.

Kalian yang Muslim tentu tahu di setiap surat, bahkan sebelum membaca sepotong ayat saja, kita dianjurkan membaca bismillah terlebih dahulu. Tahu kan artinya apa? Dengan nama Alloh yang maha pengasih dan penyayang. Kalau kalian kaum paling beriman mengaku penghuni surga harusnya hatinya terketuk walau hanya mendengar bismillah. Perintah Tuhan dalam ayat boleh saja mengutuk dan melaknat, tapi ingat baik-baik sebelumnya Dia sudah memberitahu bahwa Dia Maha Pengasih dan Penyayang.

Dan kalian hanya mendalami ayat-ayat mengutuk dan melaknat saja? Bismillahnya ke mana? Halooo, ada orang?

Sadar atau tidak, dari tadi saya sama sekali tidak menuliskan bencana alam. Karena yang terjadi sesungguhnya memang bukan bencana alam. Ini adalah bencana kemanusiaan. Iya, manusia-hanya manusia saja yang sedang terkena bencana. Alam semesta ini hanya sedang menjalani kodratnya agar terus bisa menjaga keseimbangan.

Otak kita lebih panas dari lahar gunung. Terlalu besar gelombang fitnah dari mulut kita sendiri. Terlalu kencang kecaman yang dihembuskan bahkan angin saja iri. Dampaknya jutaan kali lipat lebih mengerikan dari pada terombang-ambing di tengah lautan.

Ingat, kita yang diberi hati gunakan untuk mengasihi bukan mencaci maki. Buat gunung minder, karena saat mereka terluka tidak ada bahu untuk bersandar. Buat sungai iri, karena mereka tidak bisa mengapus air mata satu sama lain ketika manangis. Buat pohon takjup, karena ketika mereka berguguran tidak ada yang memeluk. Kita bisa.

1 comment:

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts