Telinga saya memanas dan hati
saya menghangat ketika mendengar kabar itu. Sama seperti kalian, dalam hati
saya juga timbul banyak tanya, “Kenapa?”. Kejadian demi kejadian datang silih
berganti. Menyisakan duka yang tidak tahu kapan pulihnya lagi.
Kalian tahu, kesedihan saya makin
bertambah ketika membuka blog saya ini. Kenapa? Karena artikel yang saya tulis
di tahun 2015 yang berjudul
Stop Share Foto Korban Kekerasan/Kecelakaan, selalu
bertambah pengunjungnya setiap kali ada berita duka. Ini bukan hal baik, saya
tidak bangga dengan hal ini.
Tiga tahun berlalu dan masih
banyak orang yang senang membagikan foto-foto korban apapun itu. Waktu
kecelakan pesawat yang di perairan Karawang, banyak beredar vidoe atau foto
korban di media sosial. Bahkan sempat trending
di youtube. Seorang teman
memutarnya berkali-kali dan menunjukannya kepada saya video tersebut.
Saya bilang ke teman saya, jangan
lihat video seperti itu, selain tidak sopan kan kasihan juga korbannya. Dan
teman saya bilang, tapi aku penasaran. Saya mencoba menjelaskan seperti apa
yang pernah saya tulis sebelumnya. Bagaimana kalau dia yang ada di posisi
korban? Bahkan saya bilang itu hanya mengotori otakmu. Yang punya akun youtube enak, viewers banyak dapat untung. Lah, kalian yang nonton hanya dapat
pikiran negatif.
Tapi teman saya justru berdalih,
itu yang nge-video-in aja tim penyelamnya berarti boleh dong buat tontonan.
Duh, Gustiiii.....
Ternyata itu belum seberapa.
Masih banyak yang lebih parah dari itu. Kita semua tahu tahun 2018 ini banyak
sekali peristiwa yang memilukan. BNPB mencatat 2.426 duka terjadi di tahun
2018. Sebut saja di antaranya gempa Lombok, tsunami Palu, dan yang terbaru tsunami
Selat Sunda. Ada ribuan korban meningal dunia, hilang, dan luka-luka serta
jutaan orang mengungsi. Coba bayangkan kalau salah satu di antaranya adalah
kita, saudara kita, atau orang yang kita kenal.
Saya masih ingat ketika gempa
Lombok, saya menghubungi teman-teman yang ada di Lombok. Teman-teman yang saya
temui ketika saya trip Lombok sendirian dan ada juga teman lama yang sekarang
tinggal di Lombok. Yang mengejutkan ketika saya tanya bagaimana keadaan mereka.
Jawaban mereka kurang lebih sama, aku
baik-baik saja tapi hoax membuat ini tidak baik-baik saja.
Sungguh saya tidak tahu harus
menjawab apa ketika mendapati jawaban itu. Kalau mereka bilang kekurangan
logistik, kemungkinan besar saya bisa bantu entah bagaimana caranya. Tapi bagaimana
caranya melawan orang bar-bar di internet? Bahkan kemungkinan besar mereka
sudah terstruktur dan bekerja dengan masif. Ada penggerak yang membuat
orang-orang ini melakukan hal tersebut. Maaf, saya berpikir positif, kalian
sesungguhnya manusia yang masih punya hati. Tidak mungkin melakukan hal seperti
itu tanpa dorongan/alasan yang kuat.
Kalian tentu ingat bagaimana
orang-orang berkomentar di media sosial. Mengaitkan dengan agama, azab,
politik, dan banyak isu hoax lainnya. Panas sekali, bahkan neraka pun minder
dengan komentar warganet penyebar hoax pencipta propaganda itu.
Tidak hanya gempa Lombok, tsunami
Palu, tsunami Selat Sunda, tapi juga duka yang lainnya. Selalu ada saja yang
mengaitkannya dengan hal lain yang di luar nalar. Bahkan lebih parahnya ada saja
yang mengutuk korban. Coba kalian bayangkan, keluarga kalian meninggal terseret
ombak. Kalian sedang menangis kehilangan, tiba-tiba ada yang bilang, “Makanya banyak
ibadah.” Terus manusia yang banyak ibadah tidak akan pernah mati kah atau
bagaimana? Sombong, Anda!
Gini loh, ya...
Saya memang bukan ahli agama
apalagi geologi, geofisika, atau apapun itu. Saya hanya manusia biasa sama seperti
kalian. Jadi, sikap saya ini hanya ingin dilihat sebagai manusia tidak lebih
tidak kurang. Saya manusia tercipta dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sama
seperti makhluk ciptaan Tuhan lainnya seisi alam semesta. Kita semua punya cara
agar bisa hidup berkesinambungan saling melengkapi satu sama lain.
Yang hidup di alam semesta ini
bukan hanya manusia. Jangan egois! Kamu pikir batu tidak berhak melunak. Jangan
karena kamu punya otak lantas bisa seenaknya mau berpikir apa. Jangan merasa
paling bisa merasa, kalau masih mudah menghina.
Asal tahu saja alam ini tetap
akan lestari tanpa campur tangan manusia. Omong kosong alam ini hancur karena
manusia tidak mau merawatnya. Gunung rela meletus agar tanah tetap subur. Daun rela
berguguran agar pohon tetap tegak berdiri. Bumi rela retak agar yang lain bisa
rekat. Apa mereka butuh manusia? Tidak.
Lalu apa yang terjadi dengan
manusia?
Mereka hanya bisa menggunakan itu
untuk mengutuk, menghina, mencaci, dan memaki. Lucunya segala hal disangkut-pautkan.
Dicari-cari penyebabnya agar punya bahan gunjingan. Pokoknya harus ada yang
disalahkan! Jangan menyerah sebelum ada baku hantam!
Katanya sih, kalau sudah mencaci
berdalih mengingatkan sesama umat bisa menambah keimanan. Masa sih? Ini saya
yang terlalu kafir atau memang bebal tidak mau tahu.
Oke lah, kalau alam punya cara
dan Tuhan juga punya caranya sendiri. Boleh kok Tuhan murka, ya masa tidak
boleh kan Dia pemilik seisi semesta. Tapi kau harus tahu segala hal yang Tuhan
lakukan adalah karena kasih dan sayang.
Kalian yang Muslim tentu tahu di
setiap surat, bahkan sebelum membaca sepotong ayat saja, kita dianjurkan
membaca bismillah terlebih dahulu. Tahu kan artinya apa? Dengan nama Alloh yang maha pengasih dan penyayang. Kalau kalian
kaum paling beriman mengaku penghuni surga harusnya hatinya terketuk walau
hanya mendengar bismillah. Perintah Tuhan dalam ayat boleh saja mengutuk dan
melaknat, tapi ingat baik-baik sebelumnya Dia sudah memberitahu bahwa Dia Maha
Pengasih dan Penyayang.
Dan kalian hanya mendalami
ayat-ayat mengutuk dan melaknat saja? Bismillahnya ke mana? Halooo, ada orang?
Sadar atau tidak, dari tadi saya
sama sekali tidak menuliskan bencana alam. Karena yang terjadi sesungguhnya
memang bukan bencana alam. Ini adalah bencana kemanusiaan. Iya, manusia-hanya
manusia saja yang sedang terkena bencana. Alam semesta ini hanya sedang
menjalani kodratnya agar terus bisa menjaga keseimbangan.
Otak kita lebih panas dari lahar
gunung. Terlalu besar gelombang fitnah dari mulut kita sendiri. Terlalu kencang
kecaman yang dihembuskan bahkan angin saja iri. Dampaknya jutaan kali lipat
lebih mengerikan dari pada terombang-ambing di tengah lautan.
Ingat, kita yang diberi hati
gunakan untuk mengasihi bukan mencaci maki. Buat gunung minder, karena saat
mereka terluka tidak ada bahu untuk bersandar. Buat sungai iri, karena mereka
tidak bisa mengapus air mata satu sama lain ketika manangis. Buat pohon takjup,
karena ketika mereka berguguran tidak ada yang memeluk. Kita bisa.