Saya menulis artikel ini di
sebuah sudut Perpustakaan Daerah Cilacap yang mulai ramai manusia, sedikit
bicara. Kalau kalian pikir perpustakaan itu sepi, benar. Kalau kalian tanya,
apakah perpustakaan bisa ramai? Bisa.
Pertama kali saya menginjakkan
kaki di Pusda Cilacap, saya masih SMA kelas 1. Sekolahan saya jaraknya tidak
lebih dari 1 km dari Pusda Cilacap. Seminggu sekali saya ke sana bersama
teman-teman atau sendirian. Ketika itu perpustakaan masih sangat ramai. Untuk
mendapatkan buku Mira W. saja harus berebut. Maklum, saat itu sosial media
belum seramai sekarang. Friendster saja
baru saya kenal saat kelas 2 SMA.
Sekarang pun perpustakaan masih
ramai. Hanya saja mereka membawa gagdet-nya
sendiri-sendiri (termasuk saya). Perpustakaan sekarang menjadi tempat hotspot area. Semua orang bisa mengakses
internet secara gratis atau berbayar
di perpustakaan. Sangat jarang saya mendapati ada pengunjung yang benar-benar
membaca buku. Buku best seller seperti
Laskar Pelangi, 5 cm, sampai buku-buku Tere Liye pun banyak yang menganggur.
Kemajuan atau kemunduran?
Dari segi fasilitas tentu
mengalami kemajuan, mengikuti perkembangan jaman. Tapi dari segi fungsi
perpustakaan itu sendiri mengalami kemunduran. Perpustakaan yang seharusnya
menjadi media untuk menambah minat baca dan menjadi sumber referensi berbagai
ilmu. Kini hanya menjadi tempat tidur yang nyaman untuk para buku.
Saya sendiri pernah mengelola
rental buku sewaktu kuliah. Saat itu saya sempat mengajukan beasiswa mahasiswa
wirausaha. Ada beberapa hal yang saya tawarkan agar bisa mendapatkan beasiswa
itu. Salah satunya menambah fasilitas free
wifi. Pengajuan saya langsung ditolak dan dicecar habis-habisan oleh
penguji. Sekarang saya tahu mengapa itu terjadi dan apa dampaknya.
Membaca bukanlah hal yang mudah. Tidak
banyak orang yang bisa bertahan dalam kebosanan, sepi, dan menyelami
imajinasinya sendiri. Seringkali ketika saya mengajak teman untuk membaca,
mereka malahan hanya bengong melihat saya membaca.
Belum lagi predikat “sok pintar”
ketika saya membaca. Seolah-olah hanya yang pintar yang boleh membaca. Padahal saya
membaca karena tidak tahu. Dan paling penting karena ingin tahu. Banyak orang
yang tidak tahu apa-apa dan tidak berusaha mencari tahu. Hanya diam dan
membiarkan rasa penasarannya menguap begitu saja. Membaca itu bukan untuk
menjadi pintar. Lebih dari itu membaca membuat kita berilmu, menjadi bekal
dalam menghadapi kehidupan bukan sekedar ujian.
Walau di perpustakaan, buku kini
mulai terpinggirkan. Di lain tempat saya bisa melihat pergerakan-pergerakan
buku mulai bermunculan. Di Kampung Kurcaci dan Kemit Forest, misalnya. Kedua
tempat wisata yang pernah saya kunjungi tersebut, menyediakan buku bacaan yang
bisa dibaca secara gratis oleh pengunjung. Kecil memang, tapi bukankah
pergerakan yang kecil dan konsisten bisa menjadikan hal yang besar. Seperti yang
dilakukan teman-teman di Banggai.
Banggai adalah salah satu
kabupaten di Sulawesi Tengah. Beribukota di Luwuk yang jaraknya kurang lebih 610
km dari kota Palu. Akses menuju Banggai cukup mudah. Bisa melalui jalur darat,
laut, atau pun udara.
Penduduk Banggai yang kurang
lebih berjumlah 323.872 jiwa terdiri dari 3 suku asli yaitu Banggai, Balantak,
dan Saluan. Yang biasa disingkat menjadi Babasal. Dan beberapa pendatang yang
awalnya berdagang atau transmigrasi akhirnya menetap di Banggai.
Keadaan geografis Banggai yang
berupa pegunungan, perbukitan dan dataran rendah membuat Banggai memiliki
sumber daya alam yang melimpah. Hasil laut dan buminya berpengaruh terhadap
makanan khas masyarakat Banggai. Contohnya, pisang louwe dan ikan dabu-dabu. Dan
tentu saja pemandangan yang indah dengan berbagai objek wisata alam, antara
lain:
Pantai Kilo Lima
Kalian yang hidup di kota pasti
sering merasa jenuh dengan suasana kota dan merindukan pemandangan alam yang
menyejukkan mata? Ingin pergi tapi malas menempuh perjalanan yang tidak
sebentar? Di Banggai kalian bisa menikmati Pantai Kilo Lima yang jaraknya lima
kilo dari pusat kota Luwuk.
Di Pantai Kilo Lima kalian bisa
menikmati pasir yang putih, air yang jernih, dan terumbu karang yang indah. Pastinya
ada ikan-ikan lucu yang akan menemani kita saat snorkling. Menyenangkan bukan bisa menikmati pemandangan yang indah
dekat dengan kota?
Air Terjun Salodik
Cagar alam yang berjarak 27 km
dari Luwuk ini bisa ditempuh menggunakan kendaraan bermotor. Air terjun ini
unik karena berupa air terjun yang susunannya bertingkat. Airnya pun jernih dan
tidak begitu dalam sehingga pengunjung bisa bermain air di sana.
Tidak hanya air terjun, di
kawasan Air Terjun Salodik juga ditumbuhi pohon yang lebat. Membuat suasana
terasa sejuk dan segar. Di tambah kicauan burung yang begitu syahdu didengar. Selain
itu juga terdapat puing-puing bekas peninggalan Belanda juga masih ada sampai
sekarang.
Bukit Keles
Sebelum anak gaul punya istilah “keles”,
Banggai sudah punya Bukit Keles lebih dulu. Bukit ini mudah dijangkau dan tidak
begitu jauh dari Luwuk. Di Bukit Keles ini kita bisa melihat keindahan kota
Luwuk dari atas ketinggian. Apa lagi datangnya malam hari, gemerlap kota Luwuk
semakin terlihat keindahannya. Ditambah kopi dan pisang louwe, makanan khas
dari Luwuk. Duh, acara nongkrong di Bukit Keles ini susah untuk dilewatkan.
Keindahan Banggai makin lengkap karena
tanggal 21-23 April 2017 nanti akan diselenggarakan Festival Sastra Banggai2017. Memadukan tema sastra, seni, dan pendidikan membuat acara ini sayang
untuk dilewatkan. Apalagi acara ini dihadiri oleh tokoh sastra dan seni yang
sudah ternama dan memiliki banyak karya. Seperti, Aan Mansyur, Ahmad Tohari, Tan
Lioe Ie, dan masih ada puluhan nama yang lainnya.
Untuk saya pribadi tentu menjadi
kebanggaan tersendiri jika bisa ikut hadir meramaikan Festival Sastra Banggai 2017. Bukan hanya ikut serta dalam keramaian tapi juga menjadi bagian proses
perkembangan literasi di Indonesia, itu yang saya inginkan. Mengapresiasi bukan
hanya pengisi acaranya saja. Tapi semangat teman-teman di Banggai yang sudah mau
membuat acara Festival Sastra Banggai 2017.
Dan bersama teman-teman pengunjung lainnya yang ikut menikmati rangkaian acara dan mengambil ilmu yang diberikan pengisi acara. Bersama-sama meningkatkan nilai sastra dan seni budaya Indonesia. Bukankah karya yang bagus baru akan terlihat bila ada yang mengapresiasi. Ayo, bersama-sama memajukan sastra, seni, dan budaya dengan datang ke Festival Sastra Banggai 2017.
Dan bersama teman-teman pengunjung lainnya yang ikut menikmati rangkaian acara dan mengambil ilmu yang diberikan pengisi acara. Bersama-sama meningkatkan nilai sastra dan seni budaya Indonesia. Bukankah karya yang bagus baru akan terlihat bila ada yang mengapresiasi. Ayo, bersama-sama memajukan sastra, seni, dan budaya dengan datang ke Festival Sastra Banggai 2017.
Miris, kontradiksi ya mbak, kemajuan teknologi, dan kemunduran bersikap. Smg FSB ini juga membawa titik terang utk Banggai dan literasinya :)
ReplyDeleteIya mba, kita udah pernah bahas ini di status fbnya mba prita yg anak kecil nonton orang goyang-goyang di pusda. Hehee. Semoga FSB jadi ajang positif untuk mengapresiasi karya-karya literasi lebih baik lagi.
DeleteIya mba, kita udah pernah bahas ini di status fbnya mba prita yg anak kecil nonton orang goyang-goyang di pusda. Hehee. Semoga FSB jadi ajang positif untuk mengapresiasi karya-karya literasi lebih baik lagi.
Delete