Nama saya Kasih. Saya tahu kalian
pasti tidak percaya atau merasa jijik mengetahuinya tapi itulah kenyataannya.
Respon seperti itu sudah sering saya terima. Banyak yang bilang terlalu bagus
nama itu saya sandang. Bukan hanya kalian, saya pun merasa seperti itu.
Memaknai kasih bukanlah sesuatu
yang biasa. Ada yang bilang itu lebih dari sekedar cinta. Cinta butuh
pengakuan, kasih hanya butuh dirasakan. Cinta bisa pudar seiring berjalannya
waktu, kasih tak akan pernah lelah menunggu. Cinta pergi memendam luka, kasih
selalu ada walau tak ada lagi rasa. Cinta masih saja bersyarat, kasih tidak
peduli dengan karat. Cinta tak mengenal batas, kasih lebih dari ikhlas.
Berat rasanya apalagi saya tahu ada
beberapa dari kalian yang meyakini kasih begitu dalam. Saya percaya setiap kita
menyimpan kasih dalam hati kita masing-masing. Mau kaya, miskin, tua, muda,
tampan, jelek, bodoh, pintar, hitam, putih. Semua sama saja bahkan kasih bisa
hadir tanpa saling mengenal. Ketika sudah berpisah sekalipun, rasa itu tetap
ada meninggalkan makna. Dia tinggal di dalam hati, tumbuh subur tanpa harus
dipupuk.
Saya akan bercerita tentang
seorang anak kecil yang saya temui saat mengurusi sebuah pameran di Cilacap. Namanya
Epi. Saya yang waktu itu sedang bekerja tentu awalnya tidak peduli dengan
keberadaannya. Beberapa kali mata saya melihat sosoknya yang kurus, kecil, dekil,
dan sendirian. Sesekali mata kami bertemu, dia menatap saya dalam diam dan
kosong.
Awalnya saya acuhkan dia karena
memang saya sibuk dengan pekerjaan. Sampai pada akhirnya suatu ketika dia
berdiri di depan saya. Memperhatikan setiap yang saya kerjakan. Masih dalam
diamnya dan kekosongannya. Mungkin dia sudah beberapa kali melakukannya, hanya
saja saya tidak menyadarinya.
Ada ratusan orang yang terlibat
dalam pameran tersebut. Dari berbagai daerah, suku, agama, dan status sosial. Tentunya
kalau saya tidak mengenal Epi itu adalah hal yang wajar. Waktu satu minggu
pameran tidak akan cukup membuat saya mengenal satu-satu semua orang. Pengunjung
pameran memang banyak yang anak kecil. Tapi Epi ini saya yakin bukan sekedar
pengunjung biasa.
Tapi mata kosongnya menarik saya
untuk bertanya padanya, “Kenapa kamu sendirian, Dek?”.
Matanya menjawab, aku
tidak akan sendirian kalau kamu mengajakku bermain. Senyuman saya membuatnya
semakin dekat. Semakin dekat saat saya mengeluarkan slime (mainan anak-anak yang terbuat dari sabun dan bahan lainnya).
Slime itu milik anak dari teman saya
yang ditinggal di pameran.
“Tante, boleh aku pinjam slime-nya?” suaranya yang melengking
khas anak kecil akhirnya keluar juga dari mulutnya.
“Boleh dong, sini,” saya
menyerahkan slime itu kepadanya dan
membiarkan dia duduk di samping saya.
Tentu saya tidak membiarkan Epi
bermain sendirian. Menanyakan hal sepele seperti nama, rumahnya, sudah makan
belum sampai di mana orang tuanya? Epi menjawabnya dengan riang, saya tidak
menyangka kalau dia cerewet juga. Berbicara dengan Epi seperti membaca sebuah
buku. Setiap lembarnya ada sesuatu yang baru, sekaligus mengingatkan saya pada
masa lalu.
Epi adalah anak 90-an yang hidup
di era kekinian. Tanpa gagdet, tanpa internet. Saya seperti melihat saya
kecil ketika bermain dengan Epi. Di pameran itu, Epi ikut bapaknya yang jual
ketropak. Siang hari dia main sendirian di sekitar pameran, malamnya dia tidur
di lapak yang kosong. Saya pernah mengalaminya, waktu kecil saya menemani bapak
saya berjualan mainan di pasar.
Saya tahu persis bagaimana sepinya
hati di antara keramaian. Anak-anak lain datang ke pameran untuk mencari
hiburan. Epi datang ke pameran justru menjumpai kesendirian. Walau saya banyak
kerjaan, saya membiarkan Epi tetap di samping saya. Sambil sesekali dia
memanggil-manggil saya, menunjukkan slime
yang dia mainkan seolah-olah membentuk makanan.
Di balik kesendiriannya, Epi
tetaplah anak kecil. Yang punya sejuta tawa di balik lara. Saya tanyakan, apa
cita-citanya? Dengan lantang dia menjawab, “Pengin masak-masak, punya tempat
makan, orang-orang bisa kenyang.”
Ketika saya melanjutkan, “Pengin
jadi dokter atau guru apa ga?”
Dengan lesu dia menjawab, “Ga.
Epi mungkin ga akan bisa sekolah. Epi mau masak-masak aja.”
Saya diam. Dan entah dari mana
tidak ada mendung, tidak ada angin, mata saya perih tergenang air. Hati saya
tergerak melakukan sesuatu. Esok harinya saya membawa buku bacaan keponakan saya
yang tertinggal di rumah. Menceritakan dan mengajari Epi beberapa hal tentang
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Suatu hari nanti saya ingin membelikan Epi buku-bukubacaan di elevania yang terjangkau dan berkualitas. Agar dia bisa terus belajar
walau tidak sekolah.
Semenjak itu Epi sering menyapa, menghampiri
dan bermain bersama saya. Epi tahu dan mengerti, dia akan diam saat tahu saya
sedang banyak kerjaan bekerja. Bahkan sesekali membantu bila saya kerepotan.
Yang membuat saya semakin kaget
adalah ketika pameran akan berakhir. Hujan lebat bahkan membuat banjir tempat
pameran. Kami semua kelimpungan, semua lapak dibereskan. Saya sendirian
membereskan box, meja, kursi, dan perlengkapan pameran yang lainnya. Tiba-tiba
datang beberapa lelaki bertampang sangar dan bertato membantu saya. Sempat
takut barang-barang saya dibawa. Tapi saya singkirkan pikiran itu, toh nyatanya
mereka memang benar-benar membantu.
Selesai beres-beres tentu saya
berterima kasih. Mereka malahan bilang, “Tenang saja, kalau Mba butuh bantuan
pasti kami bantu. Mba tantenya Epi kan?”
Saya bingung harus menjawab apa,
langsung saya bertanya balik, “Mas tahu dari mana?”
“Semalam Epi cerita, kan kalau malam
selesai pameran kami yang menginap suka kumpul. Epi bilang punya tante yang
baik banget. Katanya dia diajak main sama belajar. Mba kan yang main sama Epi? Semua
yang nginep di sini tahu Mba, loh”
Bibir saya susah terbuka, hanya
anggukan kepala untuk menjawab pertanyaan itu. Saya benar-benar tidak menyangka
hanya bermain bersama Epi membuat saya dikenal banyak orang. Hal ini membuat
saya sadar kasih itu menular tumbuh menjalar. Meruntuhkan benteng-benteng
ketakutan, ketidak tahuan, kecemasan, perbedaan, dan kesusahan. Membuat
perubahan-perubahan kecil yang berdampak bagi yang lain.
Memberi kasih pada siapa pun itu
yang untung bukan mereka yang kita beri tapi diri kita sendiri. Kita tidak akan
pernah rugi, justru mendapat untung yang kian menggunung. Kasih itu bertumbuh,
kamu hanya menebar satu bibit saja dia akan berbuah tanpa harus kamu pupuk.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar