Di dunia ini banyak sekali jenis
alat transportasi yang memudahkan kita berkunjung dari satu tempat ke tempat
lain. Jujur saja kalau aku pergi kemana-mana, pertama yang menjadi bahan
pertimbangan soal harga. Cari yang paling murah, kedua baru cari yang paling
nyaman. Setelah mencoba alat transportasi dari berbagai macam model, aku paling
suka naik kereta api. Rasanya begitu nyaman dan rindu ingin naik lagi.
![]() |
foto koleksi pribadi, ig: @kisahkasih_ |
Aku tidak ingat kapan persisnya pertama kali naik kereta api. Waktu kecil naik kereta api selalu ke Jakarta karena keluarga banyak yang tinggal di sana. Semenjak kuliah dan merasa bebas pergi kemana saja, berbagai tujuan aku coba. Bahkan hanya iseng dari Stasiun Purwokerto ke Maos pun pernah aku coba.
Puluhan tahun menjadi kendaraan
favorit, aku pun merasakan tumbuh bersama kereta api. Dari jaman berdesakan
berebut kursi. Tidur di lorong sempit harus menekuk kaki. Jadwal yang susah
diprediksi kapan kereta datang dan pergi. Penumpang gelap tanpa tiket tetap
bisa naik walau tak ada tempat lagi. Penjual hilir mudik tanpa henti. Tak
terlihat bedanya pencopet dan pencari sesuap nasi.
Entah kapan kejadiannya, aku
lupa. Yang aku ingat waktu itu tubuhku terlalu kecil untuk berdesak-desakkan,
menempuh perjalanan berjam-jam dari Jakarta menuju kampung halaman. Aku diam
menahan tangis dipelukan ibuku. Kami berdua hanya bisa duduk di depan pintu toilet
yang tidak pernah dibersihkan. Bau pesingnya sudah pasti tidak ketulungan.
Telingaku mendengar isak tangis
yang bukan dari aku ataupun ibuku. Mataku mengintip mencari sumber suara itu
dari balik pelukan ibuku. Seorang perempuan muda, berambut panjang dan berbaju
merah yang menangis di depan pintu gerbong.
Ibuku bertanya, “Mba, kenapa?”
“Saa...y.ya.. kkeco..ppee..tan
bu,” jawabnya sambil menahan isak tangis.
Pelukan ibuku semakin terasa erat.
Memberi isyarat padaku bahwa aku akan baik-baik saja dalam pelukannya. Atau sesungguhnya,
itu kekhawatiran ibuku yang melampiaskannya dengan memelukku lebih erat. Seorang
bapak akhirnya memberikan uang secukupnya untuk bekal perempuan itu pulang.
Kejadian seperti itu sebenarnya
cukup membuat aku trauma. Mungkin karena aku masih terlalu kecil untuk
menerimanya. Baca tulis saja aku belum bisa. Apalagi aku hanya anak kampung
yang terbiasa hidup damai, aman, dan tentram. Tapi kalau sudah nyaman mau bagaimana
lagi. Kereta yang lajunya tidak pernah mengerem mendadak, menikung tajam, atau
membuat penumpangnya tergoncang karena medan perjalanan. Tetap menjadi
transportasi andalan.
Sekarang, semua tertata rapi.
Kenyamanan terasa sampai kelas paling rendah, ekonomi. Semakin menjadi
transportasi idaman hati ini. Tapi perjalanan tidak akan berarti apa-apa tanpa
siapa yang menemani. Sepanjang jalan berbagi cerita tanpa henti. Sekali-kali
menertawakan diri sendiri. Atau membuat kenangan yang akan dirindukan suatu
hari nanti.
![]() |
Stasiun Kroya pukul 06.02 menunggu Logawa datang |
![]() |
Logawa yang mengantarku sampai ke Jember |
Perjalanan terpanjangku dengan
kereta api baru saja terjadi beberapa bulan lalu. Dengan kereta Logawa dari
Stasiun Kroya sampai Jember. Tiga belas jam lebih aku nikmati, dengan seorang
teman dan penumpang lain yang naik turun di stasiun yang kami lalui. Membaca bukunya
Okky Madarsari yang 86, aku lakukan sesekali. Ketika obrolan dengan temanku
sudah tidak ada lagi.
![]() |
Aku dan 86-nya Okky Madarsari |
Tiba ketika di Stasiun Nganjuk
kereta berhenti. Sudah tidak banyak penumpang yang naik turun lagi. Seorang
perempuan beransel ala pendaki, memberi petunjuk kepada seorang nenek, “Mbah,
duduknya di sini.” Nenek itu bersama cucunya yang berumur lima tahun, anaknya
imut sekali. Dan perempuan tadi bukanlah cucunya, dia hanya membantu mencarikan
kursi.
![]() |
Jonathan lagi ngemil. |
Jonathan namanya, ditinggal orang
tuanya bekerja di Batam dari umur tiga bulan. Dirawat neneknya dengan penuh
kasih sayang, yang sekarang berumur 66 tahun. Aku memberinya cemilan, sambil
menggodanya sesekali. Dia beberapa kali tertawa mendengar guyonanku. Sampai seorang
anak perempuan kursi depan yang seusia Jonathan mengintip malu-malu. Penasaran mendengar kami becanda.
![]() |
Anak yang penasaran mendengar aku dan Jonathan becanda |
Sesekali Jonathan mengeja tulisan
apa saja yang dia lihat. 86 yang aku bawa tidak luput dari keisengannya. Setiap
stasiun yang kami lalui, dia baca nama stasiunnya. Dengan ejaan khas anak baru
bisa membaca. Dia juga bercerita kaos yang dia pakai adalah hadiah lomba
mewarnai ikan. Untungnya Jonathan tumbuh menjadi anak yang pintar dan
pemberani.
Aku tanya dia, “Jo, senang ngga
naik kereta?”
“Senang,” jawabnya sambil terus
makan cemilan yang aku berikan.
Melihat Jonathan, mengingatkanku
saat naik kereta bersama ibuku puluhan tahun yang lalu. Mungkin saat itu aku
seumuran Jonathan. Belum bisa membaca dan dihantui ketakutan sepanjang jalan. Lain
dulu, lain sekarang. Kereta api sudah bisa membuat nyaman dan aman semua
penumpang.
Ini bukan sekedar perkembangan
sebuah alat transportasi. Tapi juga manusianya yang ikut bertumbuh bersamanya. Kadang
terbesit rindu makan pecel di kereta. Tapi tanpa pecel, semua penumpang bisa
nyaman selama perjalanan. Pertumbuhan alat transportasi memang penting. Tapi lebih
penting lagi manusia yang membuat alat transportasi itu hidup. Hidup dan
menghidupi demi kelangsungan hidup bersama.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar