Wednesday, April 5, 2017

Kasih Untuk Epi



Nama saya Kasih. Saya tahu kalian pasti tidak percaya atau merasa jijik mengetahuinya tapi itulah kenyataannya. Respon seperti itu sudah sering saya terima. Banyak yang bilang terlalu bagus nama itu saya sandang. Bukan hanya kalian, saya pun merasa seperti itu.

Memaknai kasih bukanlah sesuatu yang biasa. Ada yang bilang itu lebih dari sekedar cinta. Cinta butuh pengakuan, kasih hanya butuh dirasakan. Cinta bisa pudar seiring berjalannya waktu, kasih tak akan pernah lelah menunggu. Cinta pergi memendam luka, kasih selalu ada walau tak ada lagi rasa. Cinta masih saja bersyarat, kasih tidak peduli dengan karat. Cinta tak mengenal batas, kasih lebih dari ikhlas.

Berat rasanya apalagi saya tahu ada beberapa dari kalian yang meyakini kasih begitu dalam. Saya percaya setiap kita menyimpan kasih dalam hati kita masing-masing. Mau kaya, miskin, tua, muda, tampan, jelek, bodoh, pintar, hitam, putih. Semua sama saja bahkan kasih bisa hadir tanpa saling mengenal. Ketika sudah berpisah sekalipun, rasa itu tetap ada meninggalkan makna. Dia tinggal di dalam hati, tumbuh subur tanpa harus dipupuk.

Epi
Saya akan bercerita tentang seorang anak kecil yang saya temui saat mengurusi sebuah pameran di Cilacap. Namanya Epi. Saya yang waktu itu sedang bekerja tentu awalnya tidak peduli dengan keberadaannya. Beberapa kali mata saya melihat sosoknya yang kurus, kecil, dekil, dan sendirian. Sesekali mata kami bertemu, dia menatap saya dalam diam dan kosong.

Awalnya saya acuhkan dia karena memang saya sibuk dengan pekerjaan. Sampai pada akhirnya suatu ketika dia berdiri di depan saya. Memperhatikan setiap yang saya kerjakan. Masih dalam diamnya dan kekosongannya. Mungkin dia sudah beberapa kali melakukannya, hanya saja saya tidak menyadarinya.

Ada ratusan orang yang terlibat dalam pameran tersebut. Dari berbagai daerah, suku, agama, dan status sosial. Tentunya kalau saya tidak mengenal Epi itu adalah hal yang wajar. Waktu satu minggu pameran tidak akan cukup membuat saya mengenal satu-satu semua orang. Pengunjung pameran memang banyak yang anak kecil. Tapi Epi ini saya yakin bukan sekedar pengunjung biasa.

Tapi mata kosongnya menarik saya untuk bertanya padanya, “Kenapa kamu sendirian, Dek?”.
Matanya menjawab, aku tidak akan sendirian kalau kamu mengajakku bermain. Senyuman saya membuatnya semakin dekat. Semakin dekat saat saya mengeluarkan slime (mainan anak-anak yang terbuat dari sabun dan bahan lainnya). Slime itu milik anak dari teman saya yang ditinggal di pameran.

“Tante, boleh aku pinjam slime-nya?” suaranya yang melengking khas anak kecil akhirnya keluar juga dari mulutnya.

“Boleh dong, sini,” saya menyerahkan slime itu kepadanya dan membiarkan dia duduk di samping saya.
Epi ketika bermain slime bersama saya
Tentu saya tidak membiarkan Epi bermain sendirian. Menanyakan hal sepele seperti nama, rumahnya, sudah makan belum sampai di mana orang tuanya? Epi menjawabnya dengan riang, saya tidak menyangka kalau dia cerewet juga. Berbicara dengan Epi seperti membaca sebuah buku. Setiap lembarnya ada sesuatu yang baru, sekaligus mengingatkan saya pada masa lalu.

Epi adalah anak 90-an yang hidup di era kekinian. Tanpa gagdet, tanpa internet. Saya seperti melihat saya kecil ketika bermain dengan Epi. Di pameran itu, Epi ikut bapaknya yang jual ketropak. Siang hari dia main sendirian di sekitar pameran, malamnya dia tidur di lapak yang kosong. Saya pernah mengalaminya, waktu kecil saya menemani bapak saya berjualan mainan di pasar.

Saya tahu persis bagaimana sepinya hati di antara keramaian. Anak-anak lain datang ke pameran untuk mencari hiburan. Epi datang ke pameran justru menjumpai kesendirian. Walau saya banyak kerjaan, saya membiarkan Epi tetap di samping saya. Sambil sesekali dia memanggil-manggil saya, menunjukkan slime yang dia mainkan seolah-olah membentuk makanan.

Di balik kesendiriannya, Epi tetaplah anak kecil. Yang punya sejuta tawa di balik lara. Saya tanyakan, apa cita-citanya? Dengan lantang dia menjawab, “Pengin masak-masak, punya tempat makan, orang-orang bisa kenyang.”

Ketika saya melanjutkan, “Pengin jadi dokter atau guru apa ga?”

Dengan lesu dia menjawab, “Ga. Epi mungkin ga akan bisa sekolah. Epi mau masak-masak aja.”

Saya diam. Dan entah dari mana tidak ada mendung, tidak ada angin, mata saya perih tergenang air. Hati saya tergerak melakukan sesuatu. Esok harinya saya membawa buku bacaan keponakan saya yang tertinggal di rumah. Menceritakan dan mengajari Epi beberapa hal tentang hewan dan tumbuh-tumbuhan. Suatu hari nanti saya ingin membelikan Epi buku-bukubacaan di elevania yang terjangkau dan berkualitas. Agar dia bisa terus belajar walau tidak sekolah.

Semenjak itu Epi sering menyapa, menghampiri dan bermain bersama saya. Epi tahu dan mengerti, dia akan diam saat tahu saya sedang banyak kerjaan bekerja. Bahkan sesekali membantu bila saya kerepotan.

Yang membuat saya semakin kaget adalah ketika pameran akan berakhir. Hujan lebat bahkan membuat banjir tempat pameran. Kami semua kelimpungan, semua lapak dibereskan. Saya sendirian membereskan box, meja, kursi, dan perlengkapan pameran yang lainnya. Tiba-tiba datang beberapa lelaki bertampang sangar dan bertato membantu saya. Sempat takut barang-barang saya dibawa. Tapi saya singkirkan pikiran itu, toh nyatanya mereka memang benar-benar membantu.

Selesai beres-beres tentu saya berterima kasih. Mereka malahan bilang, “Tenang saja, kalau Mba butuh bantuan pasti kami bantu. Mba tantenya Epi kan?”

Saya bingung harus menjawab apa, langsung saya bertanya balik, “Mas tahu dari mana?”

“Semalam Epi cerita, kan kalau malam selesai pameran kami yang menginap suka kumpul. Epi bilang punya tante yang baik banget. Katanya dia diajak main sama belajar. Mba kan yang main sama Epi? Semua yang nginep di sini tahu Mba, loh”

Bibir saya susah terbuka, hanya anggukan kepala untuk menjawab pertanyaan itu. Saya benar-benar tidak menyangka hanya bermain bersama Epi membuat saya dikenal banyak orang. Hal ini membuat saya sadar kasih itu menular tumbuh menjalar. Meruntuhkan benteng-benteng ketakutan, ketidak tahuan, kecemasan, perbedaan, dan kesusahan. Membuat perubahan-perubahan kecil yang berdampak bagi yang lain.

Memberi kasih pada siapa pun itu yang untung bukan mereka yang kita beri tapi diri kita sendiri. Kita tidak akan pernah rugi, justru mendapat untung yang kian menggunung. Kasih itu bertumbuh, kamu hanya menebar satu bibit saja dia akan berbuah tanpa harus kamu pupuk.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts