Bolehkah saya galau? Tentu boleh.
Siapa yang bisa melarang perasaan? Bukankah setiap hati yang bernyawa berhak
punya rasa. Tidak apa galau gelisah gundah gulana. Asal tahu waktunya, asal
tahu caranya, asal tahu tempatnya, jangan sampai asal-asalan.
Sebab dari masalah seringnya tidak
tahu waktu, menjadi malu yang berujung pada malu-maluin. Padahal semua orang
mungkin pernah merasakan hal yang sama. Tapi ketika galau yang sama menimpa
orang lain, ada saja yang menertawakannya.
Galau selalu punya masanya.
Saat masih kecil, kita sangat
bingung kelimpungan hanya karena belum mengerjakan PR matematika. Beranjak
remaja, PR matematika terasa biasa berganti resah hanya karena gebetan tidak
membaca pesan. Sedikit dewasa, PR tidak pernah jadi masalah, pasangan mulai
mendapatkan yang nyaman, tinggal pusing lulusnya kapan. Sudah lulus, sudah
punya pasangan, tapi kantong kempes tidak punya penghasilan. Kantong terisi,
perut kian membuncit, giliran “kapan nikah?” menghantui tanpa henti. Sudah menikah
masih saja bimbang belum ada momongan. Si bayi lahir malahan makin pusing
dengan cicilan, si anak yang rewel, tidak bisa jalan-jalan, tidak punya
kesenangan.
Masihkah kamu ingin beranjak tua?
Sebenarnya masalah di hidup ini
adalah tanda kamu masih hidup, masih punya otak untuk berpikir. Kok
menyebalkan, ya? Mau bagaimana lagi, justru hidup tanpa masalah itu seperti
sayur tanpa garam. Hambar tidak ada rasanya. Lalu bagaimana caranya agar tidak
keasinan? Gampang, tinggal tambah gula. Mau pedas? Tambah cabai.
Saya bukan orang baik yang
hidupnya baik-baik saja. Saya bukan siapa-siapa yang punya apa-apa. Pekerjaan
tetap tidak punya, bahkan banyak orang menganggap saya sebagai pengangguran.
Pasangan tidak punya, tampang pas-pasan, pendidikan rendah, solehah pun tidak.
Tapi ketika saya melihat
sekeliling, mengapa saya yang terlihat paling bahagia? Saya menulis ini dengan
geli segeli-gelinya. Bagaimana tidak, hidup saya penuh timbunan masalah. Tapi
mereka yang hidupnya jauh lebih baik dari saya justru tidak terlihat bahagia.
Mengeluh terus kerjaannya. Sampai-sampai tidak ada ruang sedikit pun di
hidupnya, walau hanya sedetik saja ada warna.
Saya sering tertawa bila ada
teman datang dengan membawa berkarung-karung kegalauan. Ketika mereka galau
karena percintaan, saya suruh putuskan saja, mereka malah semakin memaki saya.
Ketika mereka galau karena pekerjaan, saya suruh keluar saja, mereka semakin
menderita. Pun dengan mereka yang galau karena disuruh lekas menikah tapi tak
ada pasangan. Mereka yang tidak punya uang, kerjaan pun tak pernah datang.
Dari segala macam kegalauan itu
satu hal yang saya pahami. Bahwa
kegalauan itu tidak ada urusannya dengan status, masalah, atau pun ketiadaan.
Mereka yang ada dan berada tidak bisa menghindari kegalauan. Karena galau
adalah sikap dan sifat.
Orang yang memilih galau sebagai
sifatnya, masalah dalam hidupnya tidak akan pernah selesai, kapan pun juga. Galau
jomblo, sudah dapat pasangan makin galau. Galau tidak punya uang, sudah dapat
kerjaan makin galau. Beda dengan orang yang memilih galau hanya sebagai fase
tahapan dalam hidupnya. Mereka tetap bahagia ketika berada dan ketiadaan.
Banyak sekali orang yang senang
tenggelam dalam kegalauan. Ketika ditolong justru tidak mau, malah semakin
galau ketika masalah itu berakhir. Lebih banyak lagi orang yang punya segalanya,
justru segalanya itu ada karena galau selalu melanda.
Saya tidak mengerti mengapa orang-orang
mempermasalahkan jomblo, pengangguran, bodoh, jelek, perawan tua, atau mandul
sebagai sumber masalah. Padahal asal kalian tahu orang yang punya pasangan,
pekerjaan mapan, jabatan, cantik, pintar, keluarga dan anak tidak ada yang
bebas dari masalah.
Kalau saya ceramah begini kalian
mungkin akan teriak, “Kamu ngga ngerasain, sih!?!”
Oke, mungkin saya tidak merasakan
apa yang sedang kalian alami. Saya hanya bisa berpesan, hatimu itu berhak punya kebahagian. Rawat dia jangan sampai
terluka. Ini bukan untuk orang lain, ini untuk dirimu sendiri. Hidup ini
sungguh sangat mudah, yang membuat susah terkadang manusia senang mencari
masalah.
Tidak apa, kamu miskin, jelek,
jomblo, mandul, dan lain sebagainya. Hal-hal mengenai kesuksesan duniawi yang
anggapan orang itu, hanya enak dilihat saja kok. Sama sekali tidak enak
dirasakan. Seorang ibu penjual rawon yang saya temui dalam perjalanan berpesan,
“Jangan jadi orang sukses, Mba. Orang sukses susah tidurnya.”
Menjadi sukses, kaya, pintar,
cantik, menikah, punya anak, dan segala macam tetek bengek tolok ukur
kesuksesan dunia itu sangat mudah. Menjadi susah itu ketika kamu tidak bisa
menyeimbangkannya. Percayalah, lebih
mudah lolos dari kemiskinan daripada mengatasi sombongnya kekayaan.
Lalu bagaimana lolos dari kegalauan
yang berkepanjangan?
Kalau kalian galau karena belum
menikah, lolos dari kegalauan itu bukanlah cepat menikah. Kalau kalian galau
karena tidak punya pekerjaan, lolos dari kegalauan itu bukanlah mencari kerja. Kalian
harus bisa lolos dari rasa galau itu sendiri. Caranya, berdamailah dengan diri
sendiri.
Omongan orang memang tidak akan
pernah selesai. Apalagi omongan keluarga, mereka selalu merasa punya kuasa
sepenuhnya dalam hidupmu. Termasuk berperan aktif dalam kehancuran hidupmu. Sangat
jarang bahkan mungkin sangat sedikit dan nyaris tidak ada. Keluarga yang mau
menerima anggota keluarganya apa adanya. Sedikit saja terlihat berbeda dari
yang lain, rasanya harus dibinasakan.
Serius.
Kita sesungguhnya bisa mudah
lolos dari kegalauan. Tapi sangat susah lolos dari kegalauan yang diakibatkan
omongan orang.
Kita berada ditatanan budaya
masyarakat yang habis A harus B, B selesai lanjut C, begitu seterusnya. Belum lagi
budaya ramah tamah yang sesungguhnya cuma basa-basi-busuk. Ketika satu hal
tahapan dalam hidup ini berbeda dengan yang sewajarnya, musnahlah kamu dari
dunia. Siap-siap saja jadi bahan nyinyir umat di dunia.
Lalu bagaimana lolos dari nyinyir
umat di dunia terutama keluarga?
Ini susah-sangat susah, terutama
ada embel-embel keluarga. Mau dibantah, nanti durhaka. Dituruti, nyinyirnya
setengah mati. Tenang saja kalau kalian sudah punya bahan untuk dipamerkan,
mereka akan diam dengan sendirinya. Nyebelin sih, tapi itulah salah satu peran
keluarga. Menjadikan kamu objek pamer semata.
Saya tidak bisa memberi saran
secara pasti soal keluarga ini. Karena keluarga saya dan kalian tentunya
berbeda. Bagi saya keluarga hanyalah status belaka, yang mengatur saya bahagia
atau tidak tetap saya sendiri. Tuhan mengatur saya lahir di keluarga ini bukan
tanpa alasan. Saya juga punya pilihan untuk ada atau tidak bersama mereka.
Bukan berarti tidak ada cinta lagi. Hidup bersama bertahun-tahun tentu ada
rasa. Hanya saja saya bangga dengan apa yang saya lakukan, sedangkan mereka
tidak berada dalam zona yang sama dengan saya.
Kalau kalian mau terhindar dari
galau yang permanen itu, ayolah mulai dari diri sendiri. Jangan terlalu ingin
menjadi orang lain, kamu tidak tahu ada apa dibalik kesuksesan seseorang. Jangan
memulai obrolan yang berpotensi menyinggung perasaaan orang lain. Kalau kalian
merasa tidak enak diberi pertanyaan itu, ya, jangan tanya ke orang lain. Dan
mulailah berdamai dengan diri sendiri. Hidupmu sungguh lebih berarti, dimulai
dari dirimu sendiri. Bahagiakan hatimu, bahagiakan hidupmu.
Tabik!
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar