Thursday, August 24, 2017

Galau Permanen



Bolehkah saya galau? Tentu boleh. Siapa yang bisa melarang perasaan? Bukankah setiap hati yang bernyawa berhak punya rasa. Tidak apa galau gelisah gundah gulana. Asal tahu waktunya, asal tahu caranya, asal tahu tempatnya, jangan sampai asal-asalan.

Sebab dari masalah seringnya tidak tahu waktu, menjadi malu yang berujung pada malu-maluin. Padahal semua orang mungkin pernah merasakan hal yang sama. Tapi ketika galau yang sama menimpa orang lain, ada saja yang menertawakannya.

Galau selalu punya masanya.

Saat masih kecil, kita sangat bingung kelimpungan hanya karena belum mengerjakan PR matematika. Beranjak remaja, PR matematika terasa biasa berganti resah hanya karena gebetan tidak membaca pesan. Sedikit dewasa, PR tidak pernah jadi masalah, pasangan mulai mendapatkan yang nyaman, tinggal pusing lulusnya kapan. Sudah lulus, sudah punya pasangan, tapi kantong kempes tidak punya penghasilan. Kantong terisi, perut kian membuncit, giliran “kapan nikah?” menghantui tanpa henti. Sudah menikah masih saja bimbang belum ada momongan. Si bayi lahir malahan makin pusing dengan cicilan, si anak yang rewel, tidak bisa jalan-jalan, tidak punya kesenangan.

Masihkah kamu ingin beranjak tua?
Sebenarnya masalah di hidup ini adalah tanda kamu masih hidup, masih punya otak untuk berpikir. Kok menyebalkan, ya? Mau bagaimana lagi, justru hidup tanpa masalah itu seperti sayur tanpa garam. Hambar tidak ada rasanya. Lalu bagaimana caranya agar tidak keasinan? Gampang, tinggal tambah gula. Mau pedas? Tambah cabai.

Saya bukan orang baik yang hidupnya baik-baik saja. Saya bukan siapa-siapa yang punya apa-apa. Pekerjaan tetap tidak punya, bahkan banyak orang menganggap saya sebagai pengangguran. Pasangan tidak punya, tampang pas-pasan, pendidikan rendah, solehah pun tidak.

Tapi ketika saya melihat sekeliling, mengapa saya yang terlihat paling bahagia? Saya menulis ini dengan geli segeli-gelinya. Bagaimana tidak, hidup saya penuh timbunan masalah. Tapi mereka yang hidupnya jauh lebih baik dari saya justru tidak terlihat bahagia. Mengeluh terus kerjaannya. Sampai-sampai tidak ada ruang sedikit pun di hidupnya, walau hanya sedetik saja ada warna.

Saya sering tertawa bila ada teman datang dengan membawa berkarung-karung kegalauan. Ketika mereka galau karena percintaan, saya suruh putuskan saja, mereka malah semakin memaki saya. Ketika mereka galau karena pekerjaan, saya suruh keluar saja, mereka semakin menderita. Pun dengan mereka yang galau karena disuruh lekas menikah tapi tak ada pasangan. Mereka yang tidak punya uang, kerjaan pun tak pernah datang.

Dari segala macam kegalauan itu satu hal yang saya pahami. Bahwa kegalauan itu tidak ada urusannya dengan status, masalah, atau pun ketiadaan. Mereka yang ada dan berada tidak bisa menghindari kegalauan. Karena galau adalah sikap dan sifat.

Orang yang memilih galau sebagai sifatnya, masalah dalam hidupnya tidak akan pernah selesai, kapan pun juga. Galau jomblo, sudah dapat pasangan makin galau. Galau tidak punya uang, sudah dapat kerjaan makin galau. Beda dengan orang yang memilih galau hanya sebagai fase tahapan dalam hidupnya. Mereka tetap bahagia ketika berada dan ketiadaan.

Banyak sekali orang yang senang tenggelam dalam kegalauan. Ketika ditolong justru tidak mau, malah semakin galau ketika masalah itu berakhir. Lebih banyak lagi orang yang punya segalanya, justru segalanya itu ada karena galau selalu melanda.

Saya tidak mengerti mengapa orang-orang mempermasalahkan jomblo, pengangguran, bodoh, jelek, perawan tua, atau mandul sebagai sumber masalah. Padahal asal kalian tahu orang yang punya pasangan, pekerjaan mapan, jabatan, cantik, pintar, keluarga dan anak tidak ada yang bebas dari masalah.

Kalau saya ceramah begini kalian mungkin akan teriak, “Kamu ngga ngerasain, sih!?!”

Oke, mungkin saya tidak merasakan apa yang sedang kalian alami. Saya hanya bisa berpesan, hatimu itu berhak punya kebahagian. Rawat dia jangan sampai terluka. Ini bukan untuk orang lain, ini untuk dirimu sendiri. Hidup ini sungguh sangat mudah, yang membuat susah terkadang manusia senang mencari masalah.

Tidak apa, kamu miskin, jelek, jomblo, mandul, dan lain sebagainya. Hal-hal mengenai kesuksesan duniawi yang anggapan orang itu, hanya enak dilihat saja kok. Sama sekali tidak enak dirasakan. Seorang ibu penjual rawon yang saya temui dalam perjalanan berpesan, “Jangan jadi orang sukses, Mba. Orang sukses susah tidurnya.”

Menjadi sukses, kaya, pintar, cantik, menikah, punya anak, dan segala macam tetek bengek tolok ukur kesuksesan dunia itu sangat mudah. Menjadi susah itu ketika kamu tidak bisa menyeimbangkannya. Percayalah, lebih mudah lolos dari kemiskinan daripada mengatasi sombongnya kekayaan.

Lalu bagaimana lolos dari kegalauan yang berkepanjangan?

Kalau kalian galau karena belum menikah, lolos dari kegalauan itu bukanlah cepat menikah. Kalau kalian galau karena tidak punya pekerjaan, lolos dari kegalauan itu bukanlah mencari kerja. Kalian harus bisa lolos dari rasa galau itu sendiri. Caranya, berdamailah dengan diri sendiri.

Omongan orang memang tidak akan pernah selesai. Apalagi omongan keluarga, mereka selalu merasa punya kuasa sepenuhnya dalam hidupmu. Termasuk berperan aktif dalam kehancuran hidupmu. Sangat jarang bahkan mungkin sangat sedikit dan nyaris tidak ada. Keluarga yang mau menerima anggota keluarganya apa adanya. Sedikit saja terlihat berbeda dari yang lain, rasanya harus dibinasakan.

Serius.

Kita sesungguhnya bisa mudah lolos dari kegalauan. Tapi sangat susah lolos dari kegalauan yang diakibatkan omongan orang.

Kita berada ditatanan budaya masyarakat yang habis A harus B, B selesai lanjut C, begitu seterusnya. Belum lagi budaya ramah tamah yang sesungguhnya cuma basa-basi-busuk. Ketika satu hal tahapan dalam hidup ini berbeda dengan yang sewajarnya, musnahlah kamu dari dunia. Siap-siap saja jadi bahan nyinyir umat di dunia.

Lalu bagaimana lolos dari nyinyir umat di dunia terutama keluarga?

Ini susah-sangat susah, terutama ada embel-embel keluarga. Mau dibantah, nanti durhaka. Dituruti, nyinyirnya setengah mati. Tenang saja kalau kalian sudah punya bahan untuk dipamerkan, mereka akan diam dengan sendirinya. Nyebelin sih, tapi itulah salah satu peran keluarga. Menjadikan kamu objek pamer semata.

Saya tidak bisa memberi saran secara pasti soal keluarga ini. Karena keluarga saya dan kalian tentunya berbeda. Bagi saya keluarga hanyalah status belaka, yang mengatur saya bahagia atau tidak tetap saya sendiri. Tuhan mengatur saya lahir di keluarga ini bukan tanpa alasan. Saya juga punya pilihan untuk ada atau tidak bersama mereka. Bukan berarti tidak ada cinta lagi. Hidup bersama bertahun-tahun tentu ada rasa. Hanya saja saya bangga dengan apa yang saya lakukan, sedangkan mereka tidak berada dalam zona yang sama dengan saya.

Kalau kalian mau terhindar dari galau yang permanen itu, ayolah mulai dari diri sendiri. Jangan terlalu ingin menjadi orang lain, kamu tidak tahu ada apa dibalik kesuksesan seseorang. Jangan memulai obrolan yang berpotensi menyinggung perasaaan orang lain. Kalau kalian merasa tidak enak diberi pertanyaan itu, ya, jangan tanya ke orang lain. Dan mulailah berdamai dengan diri sendiri. Hidupmu sungguh lebih berarti, dimulai dari dirimu sendiri. Bahagiakan hatimu, bahagiakan hidupmu.

Tabik!

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts