Kekasih, bagaimana kabarmu hari
ini? Sudahkah kau membaca pesanku? Aku sedang berada di gerbong 5/12A. Dalam perjalanan
Pasar Senen-Purwokerto yang pernah menjadi awal hubungan kita. Aku kirim pesan
itu tepat setelah kereta berangkat. Tepatnya setelah aku berhasil menata napas
yang berlari-lari dikejar waktu. Kau tau kan, kalau kereta tidak pernah ingkar
waktu meski ekonomi sekali pun.
Pagi tadi aku bangun dengan
terburu-buru. Bukan karena tas yang belum dikemas. Tapi hati ini begitu cemas. Memikirkan
kamu yang tak kunjung memberi kepastian. Padahal kau tau aku tak pernah sedikit
pun membiarkanmu kesepian. Sembilan jam perjalanan akan aku lalui hari ini. Kau
tidak perlu khawatir perjalanan panjang ini tidak akan membosankan untukku.
Bagaimana tidak? Berada di
gerbong ekonomi Serayu terasa begitu dingin dengan pendingin ruangan yang selalu
menyala sepanjang perjalanan. Bajuku yang panas berkeringat karena lari, bisa
tidak lebih dari sejam langsung kembali kering. Belum lagi pemandangan
pegunungan yang hijau menyejukkan mataku.
Kekasih, kau tidak perlu khawatir
aku lupa makan. Tidak, jangan balas pesanku tadi dengan, “Sudah makan belum?”.
Kau harus tau beberapa menit sekali para pramusaji berjalan dari satu gerbong
ke gerbong lainnya. Menjajakan makanan yang banyak jenisnya. Aku tinggal
membelinya satu sebagai sarapan sekaligus makan siang.
Irit? Ah, tidak juga. Kalau kau
tahu, aku bisa membeli dua porsi makanan di luar kereta ini. Tapi aku harus
membelinya hanya seporsi karena ini di atas kereta. Aku tidak ada pilihan untuk
memilih yang lebih murah apalagi menawar. Tidak ada penjual lain selain
pramusaji yang berseliweran tadi. Tidak ada ibuk-ibuk yang berteriak, “Pecel,
pecel, pecel!”. Dan teman-temannya yang mulai terusir dari kereta semenjak
tahun 2013-an.
Kau juga tidak perlu khawatir,
semenjak itu juga keadaan di dalam kereta menjadi aman dan nyaman. Dapat dipastikan
hanya ada penumpang dan petugas kereta saja yang ada di sepanjang perjalanan. Tidak
ada pengamen yang bernyanyi cempreng. Tidak ada copet yang suka mepet-mepet.
Sepi? Iya, apalagi tidak ada kamu
yang sesekali meminjamkan bahu ketika mataku mulai sayup mengantuk. Memang sudah
ada penyewaan bantal yang wangi nan empuk. Tapi itu tidak begitu membantu,
karena tempat duduk yang senderannya berdiri tegak lurus 90o ini tetap
saja membuat punggungku panas. Belum lagi bangku yang busanya mengeras.
Kekasih, seharusnya kau kirimkan
pesan padaku, “Sudah sholat belum?”. Aku akan menghela napas panjang
kelimpungan membalas pesanmu yang satu ini. Bukan karena memang aku belum
pernah bisa sholat tepat waktu. Tapi aku bingung harus sholat di mana. Tenang,
untung saja ada tempat duduk kosong di ujung gerbong. Coba kalau semua tempat
duduk sepanjang gerbong terisi. Aku bisa melewatkan waktu dhuhur, azhar, dan
mungkin saja magrib dalam sehari ini.
Jangan tanya untuk wudhunya
bagaimana? Semua aku lakukan seadanya dalam kamar mandi yang airnya ikut
bergoyang seiring kereta yang berjalan. Aku tahu seharusnya ini bukan
penghalang, apalagi cari-cari alasan. Tapi bolehkan aku berharap bisa beribadah
dengan nyaman?
Kekasih, jangan lupa kau harus
menjemputku tepat waktu. Jangan biarkan aku terlunta-lunta nyaris menginap lagi
di stasiun. Di dalam stasiun memang terjamin keamanannya. Tapi penumpang tidak
dibiarkan berada terus-terusan di dalam stasiun. Aku harus keluar walau hari
sudah malam. Dan di luar stasiun itu tidak ada yang menjamin keselamatanku,
kekasih. Siapa saja bisa menyeretku, memaksa, dan entah apalagi meski aku masih
di dalam pagar stasiun.
Aku tahu ini tidak seberapa
dibandingkan dulu. Tapi boleh kan aku berharap lebih baik lagi? Kau tahu
kekasih, kereta ini bukan baru kemarin sore ada di negeri ini. Ia sudah ada
dari 72 tahun yang lalu, bahkan lebih dari itu. Hanya saja angka 72 adalah
angka resmi PT KAI bergabung dengan NKRI.
Kekasih, kalau kita sudah 72
tahun akan seperti apa? Kita pasti sudah menua dan punya cucu. Cucu kita kelak mungkin akan menemukan jodohnya di kereta super cepat. Kereta yang lebih aman dan nyaman dari pada sekarang. Kereta yang mungkin bukan hanya menghubungkan satu kota ke kota lain tetapi satu pulau ke pulau lain. Kau pasti tahu, kekasih, negeri kita ini kepulauan. Bukan tidak mungkin bila hal itu terwujud.
Tapi bukan itu intinya. Bukan apa-apa saja yang sudah berubah dan kita dapatkan setelah waktu berjalan. Tapi bagaimana kita bisa berproses terus lebih baik melalui segala rintangan. Terus berinovasi seiring perkembangan jaman. Seperti kereta ini, tetap setia mengantar penumpang selamat sampai tujuan.
Tapi bukan itu intinya. Bukan apa-apa saja yang sudah berubah dan kita dapatkan setelah waktu berjalan. Tapi bagaimana kita bisa berproses terus lebih baik melalui segala rintangan. Terus berinovasi seiring perkembangan jaman. Seperti kereta ini, tetap setia mengantar penumpang selamat sampai tujuan.
Aku tahu, aku juga punya
kekurangan, kamu pun demikian. Tapi ingatlah kekasih, orang yang penuh
kekurangan itu bukan mereka yang dalam keadaan buruk. Tapi mereka yang tidak
mau berproses dan tetap terpuruk.
Salam,
-kasih-
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar