Sunday, October 30, 2016

Kenangan Sepanjang Jalan Malioboro



Sisa-sisa dari perjalanan adalah kenangan. Mereka seperti kuku di jarimu, kau potong akan tumbuh lagi. Semakin berusaha untuk melupakannya, semakin tumbuh susah dihindari. Ditanggapi, yang ada malahan membuatnya berlipat ganda. Apalagi kalau kenangan itu tentang Jogja.

Kota yang diciptakan dari sekuntum rindu ini tidak akan membiarkanmu pulang tanpa kenangan. Apalagi kalau kamu sampai jatuh cinta di Jogja, bersiaplah dengan rindu-rindu yang menyiksa. Entah sihir dari mana, memang begitu adanya. Sudah puluhan kali aku singgah ke kota ini. Ratusan kali juga aku ingin kembali.

Senyumannya, keramahannya, budayanya, dan angkringannya susah sekali untuk dilupakan. Jogja yang dulu memang berbeda dengan Jogja yang sekarang. Ada beberapa bagian yang mengikuti arus perkembangan jaman. Tapi tak sedikit pula yang masih mempertahankan ciri khas ke-Jogja-an.


Aku lupa kapan pertama kali ke Jogja. Yang pasti waktu aku kecil sering berkunjung ke rumah Almarhum Mbah yang halamannya penuh dengan bunga. Tepatnya di depan Kebun Binatang Gembira Loka. Rumah mbahku sangat kental dengan budaya Jawa. Joglo yang banyak tiang penyangga dan patung pembawa gada.

Mbahku sama dengan orang Jogja jaman dulu pada umumnya. Dia hidup dengan sederhana, kemana-mana pakai sepeda ontel kesayangannya. Senang sekali memelihara burung dan merawat puluhan bunga. Orangnya ramah dan santun penuh cinta. Tiap kali aku ke sana selalu dibopong, diajak jalan-jalan, sambil diceritai semua tanamannya yang penuh filosofi.

Dan dari puluhan kali aku mengunjungi Jogja, nyaris tidak pernah aku lewatkan sekalipun bertamu ke Malioboro. Jalan yang menjadi jantung Jogja ini tidak pernah sepi pengunjung. Selalu berdetak mengikuti siapa saja yang singgah di sana. Entah sekedar lewat saja atau mampir meninggalkan cerita.

Apa sih istimewanya Malioboro? Nyaris tidak ada. Hanya jalan yang dipenuhi pedagang di sepanjang emperan toko. Sesekali mereka menyapa kalian dengan ramah. Menjajakan kain batik yang murah meriah. Atau para tukang becak yang senang bersenandung riang. Sambil menawarkan jasanya, “Lima ribu saja, Mbak?”

Bahkan saat terakhir aku ke Malioboro tahun lalu, laki-laki paruh baya di bangku KA Logawa depanku berujar, “Apa sih bagusnya Malioboro? Cuma macet, banyak orang jalan, beli oleh-oleh.” Ya benar saja Malioboro saat terakhir aku temui sangat macet. Apalagi saat itu malam minggu. Malam saat orang-orang berjamaah mencari hiburan. Bertemu teman atau sekedar keluar rumah. Yang penting bisa terlihat bahagia di mata orang. Walau jalannya tetap sendirian.

Beberapa lapak pinggir jalan saja harus mengantri kalau mau menawar baju khas Jogja yang kita suka. Gudeg Yu Jum yang aku datangi jam 5 sore juga sudah ludes tak tersisa. Belum lagi kalau mau foto di plang jalan MALIOBORO. Siap-siap saja rebutan dengan pejalan lain.

Mas, gantian dong fotonya. :(
Belum lagi kendaraan yang parkir sembarangan. Dari becak, dokar, motor, sampai mobil tumplek jadi satu. Trotoar Malioboro sebenarnya sudah lumayan ramah pejalan. Bahkan ada komunitas yang memberikan pertunjukan teatrikal di trotoar waktu aku ke sana. Tapi kalau mau menyeberang jalan itu yang susah, harus menunggu rombongan pejalan lain yang ikut menyeberang.

Parkiran timur sebelum adanya TKP ABA di malam minggu.
Lain dulu, lain sekarang, lain juga besok.

Ada banyak cara mengatasi kemacetan. Bangun MRT, jalur bus way, 3 in 1, atau ganjil genap. Malioboro kini sudah mulai berbenah, mulai 4 April 2016 trotoar timur Malioboro sudah tidak lagi digunakan untuk parkir motor. Solusinya, Pemkot Jogja membangun Taman Khusus Parkir Abu Bakar Ali (TKP ABA).

TKP ABA ini terletak di utara Malioboro, berlantai 3 dan memiliki fasilitas umum seperti mushola dan toilet. Pengunjung yang ingin ke Malioboro bisa menaiki bus yang sudah disediakan. Jadi tidak perlu repot jalan kaki. Untuk lebih lengkapnya bagaimana sistem kerja TKP ABA ini, kalian bisa menengok artikel ini.

Aku malahan berharap ke depannya Pemkot tidak hanya menyediakan bus saja. Tapi sepeda. Kan asik tuh keliling Malioboro naik sepeda. Berasa banget Jogja yang ramah, santun, asri, nyaman, dan berbudi luhur.

Jadi pengunjung harus memarkir kendaraannya di TKP ABA. Lalu, akan dipinjami sepeda yang sudah disediakan yang hanya boleh digunakan di sekitar Malioboro. Nanti setelah selesai sepedanya dikembalikan. Dan sepanjang jalan Malioboro pun ditutup untuk kendaraan bermotor.


Selain mengembalikan nuansa Jogja tempo dulu, juga bisa melestarikan lingkungan dan menyehatkan badan. Fasilitas modern memang memanjakan. Tapi tidak ada salahnya hidup dengan sederhana dan rendah hati. Bukan hanya untuk kelangsungan hidup yang sekarang, tapi juga sampai nanti. Untuk Jogja yang selalu di hati dan untuk angkringan yang baranya tidak pernah padam.

3 comments:

  1. Saat ini mau kalau gak salah mau digalakkan transportasi wisata bentor selain yang sudah ada becak dan docar, mbak. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang aku tahu bentor itu sepeda motor yang ditambah tempat duduk penumpang kaya becak. Bukannya itu dilarang ya? Atau maksudnya bentor dalam bentuk yang berbeda?

      Delete
    2. Yang aku tahu bentor itu sepeda motor yang ditambah tempat duduk penumpang kaya becak. Bukannya itu dilarang ya? Atau maksudnya bentor dalam bentuk yang berbeda?

      Delete

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts