Sisa-sisa dari perjalanan adalah
kenangan. Mereka seperti kuku di jarimu, kau potong akan tumbuh lagi. Semakin
berusaha untuk melupakannya, semakin tumbuh susah dihindari. Ditanggapi, yang
ada malahan membuatnya berlipat ganda. Apalagi kalau kenangan itu tentang
Jogja.
Kota yang diciptakan dari
sekuntum rindu ini tidak akan membiarkanmu pulang tanpa kenangan. Apalagi kalau
kamu sampai jatuh cinta di Jogja, bersiaplah dengan rindu-rindu yang menyiksa.
Entah sihir dari mana, memang begitu adanya. Sudah puluhan kali aku singgah ke
kota ini. Ratusan kali juga aku ingin kembali.
Senyumannya, keramahannya,
budayanya, dan angkringannya susah sekali untuk dilupakan. Jogja yang dulu
memang berbeda dengan Jogja yang sekarang. Ada beberapa bagian yang mengikuti
arus perkembangan jaman. Tapi tak sedikit pula yang masih mempertahankan ciri
khas ke-Jogja-an.
Aku lupa kapan pertama kali ke
Jogja. Yang pasti waktu aku kecil sering berkunjung ke rumah Almarhum Mbah yang
halamannya penuh dengan bunga. Tepatnya di depan Kebun Binatang Gembira Loka.
Rumah mbahku sangat kental dengan budaya Jawa. Joglo yang banyak tiang
penyangga dan patung pembawa gada.
Mbahku sama dengan orang Jogja
jaman dulu pada umumnya. Dia hidup dengan sederhana, kemana-mana pakai sepeda
ontel kesayangannya. Senang sekali memelihara burung dan merawat puluhan bunga.
Orangnya ramah dan santun penuh cinta. Tiap kali aku ke sana selalu dibopong,
diajak jalan-jalan, sambil diceritai semua tanamannya yang penuh filosofi.
Dan dari puluhan kali aku
mengunjungi Jogja, nyaris tidak pernah aku lewatkan sekalipun bertamu ke
Malioboro. Jalan yang menjadi jantung Jogja ini tidak pernah sepi pengunjung.
Selalu berdetak mengikuti siapa saja yang singgah di sana. Entah sekedar lewat
saja atau mampir meninggalkan cerita.
Apa sih istimewanya Malioboro? Nyaris
tidak ada. Hanya jalan yang dipenuhi pedagang di sepanjang emperan toko. Sesekali
mereka menyapa kalian dengan ramah. Menjajakan kain batik yang murah meriah. Atau
para tukang becak yang senang bersenandung riang. Sambil menawarkan jasanya, “Lima
ribu saja, Mbak?”
Bahkan saat terakhir aku ke
Malioboro tahun lalu, laki-laki paruh baya di bangku KA Logawa depanku berujar,
“Apa sih bagusnya Malioboro? Cuma macet, banyak orang jalan, beli oleh-oleh.” Ya
benar saja Malioboro saat terakhir aku temui sangat macet. Apalagi saat itu
malam minggu. Malam saat orang-orang berjamaah mencari hiburan. Bertemu teman
atau sekedar keluar rumah. Yang penting bisa terlihat bahagia di mata orang. Walau
jalannya tetap sendirian.
Beberapa lapak pinggir jalan saja
harus mengantri kalau mau menawar baju khas Jogja yang kita suka. Gudeg Yu Jum
yang aku datangi jam 5 sore juga sudah ludes tak tersisa. Belum lagi kalau mau
foto di plang jalan MALIOBORO. Siap-siap saja rebutan dengan pejalan lain.
Mas, gantian dong fotonya. :( |
Belum lagi kendaraan yang parkir
sembarangan. Dari becak, dokar, motor, sampai mobil tumplek jadi satu. Trotoar Malioboro
sebenarnya sudah lumayan ramah pejalan. Bahkan ada komunitas yang memberikan
pertunjukan teatrikal di trotoar waktu aku ke sana. Tapi kalau mau menyeberang
jalan itu yang susah, harus menunggu rombongan pejalan lain yang ikut
menyeberang.
Parkiran timur sebelum adanya TKP ABA di malam minggu. |
Lain dulu, lain sekarang, lain
juga besok.
Ada banyak cara mengatasi
kemacetan. Bangun MRT, jalur bus way, 3 in 1, atau ganjil genap. Malioboro kini
sudah mulai berbenah, mulai 4 April 2016 trotoar timur Malioboro sudah tidak
lagi digunakan untuk parkir motor. Solusinya, Pemkot Jogja membangun Taman
Khusus Parkir Abu Bakar Ali (TKP ABA).
TKP ABA ini terletak di utara
Malioboro, berlantai 3 dan memiliki fasilitas umum seperti mushola dan toilet.
Pengunjung yang ingin ke Malioboro bisa menaiki bus yang sudah disediakan. Jadi
tidak perlu repot jalan kaki. Untuk lebih lengkapnya bagaimana sistem kerja TKP
ABA ini, kalian bisa menengok artikel ini.
Aku malahan berharap ke depannya
Pemkot tidak hanya menyediakan bus saja. Tapi sepeda. Kan asik tuh keliling
Malioboro naik sepeda. Berasa banget Jogja yang ramah, santun, asri, nyaman,
dan berbudi luhur.
Jadi pengunjung harus memarkir
kendaraannya di TKP ABA. Lalu, akan dipinjami sepeda yang sudah disediakan yang
hanya boleh digunakan di sekitar Malioboro. Nanti setelah selesai sepedanya
dikembalikan. Dan sepanjang jalan Malioboro pun ditutup untuk kendaraan
bermotor.
Selain mengembalikan nuansa Jogja
tempo dulu, juga bisa melestarikan lingkungan dan menyehatkan badan. Fasilitas modern
memang memanjakan. Tapi tidak ada salahnya hidup dengan sederhana dan rendah
hati. Bukan hanya untuk kelangsungan hidup yang sekarang, tapi juga sampai
nanti. Untuk Jogja yang selalu di hati dan untuk angkringan yang baranya tidak
pernah padam.
Saat ini mau kalau gak salah mau digalakkan transportasi wisata bentor selain yang sudah ada becak dan docar, mbak. :)
ReplyDeleteYang aku tahu bentor itu sepeda motor yang ditambah tempat duduk penumpang kaya becak. Bukannya itu dilarang ya? Atau maksudnya bentor dalam bentuk yang berbeda?
DeleteYang aku tahu bentor itu sepeda motor yang ditambah tempat duduk penumpang kaya becak. Bukannya itu dilarang ya? Atau maksudnya bentor dalam bentuk yang berbeda?
Delete