“Nang, sarapan dulu! Sudah Mamak
gorengkan mendoan nih,” kata Mamakku dari dapur.
“Iya, Mak!”
jawabku sambil buru-buru memasukkan buku pelajaran dan latihan-latihan soal ke
dalam tasku.
Hari masih
sangat terlalu pagi. Adzan subuh pun belum berkumandang. Pak Kiai jam segini
paling juga baru bangun tidur. Sementara Mamakku pasti sudah menyiapkan sarapan
untukku. Entah jam berapa Mamak bangun tidur. Yang aku tahu Mamak tidak pernah
terlihat mengantuk. Senyumnya selalu mengantarkanku pergi ke sekolah setiap pagi.
“Mak, aku
berangkat sekolah dulu,” pamitku sambil mencium tangan Mamak setelah selesai
sarapan.
“Iya, Nang. Oia, ini uang buat bayar iuran
bulan kemarin. Bilang sama Bu Guru yang bulan ini Mamak bayar minggu depan,
ya,” kata Mamak memberikanku amplop putih berisi uang.
“Tidak usah,
Mak. Nanti kalau aku menang lomba uangnya buat bayar iuran sekolah sama belikan
lampu petromak baru.”
“Nang, uangmu biar buat tabungan kamu
saja, ya. Mamak masih bisa cari uang untuk bayar sekolah kamu.”
“Tapi, Mak.”
“Ah, sudah sana
berangkat nanti kamu telat. Sudah ditunggu sama Lik Darjo.”
“Ya, Mak.”
Setiap
berangkat dan pulang sekolah aku selalu diantar Lik Darjo menggunakan
perahunya. Aku tinggal di Kampung Laut yang terletak di ujung barat Pulau
Nusakambangan. Sebuah pemukiman yang semua rumahnya di atas laut. Rumah kami
berbentuk panggung yang pondasinya dari kayu. Tidak jarang bila air laut sedang
pasang, rumah kami kebanjiran. Satu-satunya kendaraan di tempat kami hanyalah
perahu.
Hampir semua
warga di desaku pekerjaannya melaut, mencari ikan, menjual ikan, atau membuat
ikan asin. Kecuali Bu Sutinah, guruku waktu kelas 1, 2, dan 3 SD. Satu-satunya
sekolah di desaku hanyalah SD tempat Bu Sutinah mengajar. Dan satu-satunya guru
hanya Bu Sutinah. Aku yang sekarang sudah kelas 5 SD harus melanjutkan sekolah
di SD Induk. Tempatnya jauh dari desaku, butuh dua jam dengan perahu Lik Darjo
untuk sampai ke Pelabuhan Sleko. Dan sepuluh menit lagi dengan naik sepeda
untuk sampai sekolahan.
Mamakku setiap
pagi menjual ikan di pelelangan ikan. Siangnya bekerja di tempat pembuatan ikan
asin. Bapakku sudah meninggal dua tahun lalu, karena kapal yang dia tumpangi
hanyut tergulung gelombang. Hanya satu hal yang aku ingat dari Bapak. Yaitu, alasan
kenapa dia memberiku nama Obor. Setiap kali Bapak menyalakan obor, dia selalu
bilang, “Nang, kalau kamu gede nanti jadilah penerang untuk orang-orang di
sekitarmu. Kaya obor ini loh.”
Di desaku tidak
ada listrik, lampu, apalagi televisi yang menyala di setiap rumah. Setiap
matahari mulai terbenam, cahayanya digantikan petromak, sentir, atau obor. Sesekali
bulan purnama menyapa, lumayan. Walau hanya dua atau tiga hari dalam sebulan.
Pagi ini lebih
dingin dari biasanya. Suara mesin di belakang perahu Lik Darjo memecahkan
keheningan. Air laut begitu tenang pagi ini. Hutan bakau di kiri dan kananku
tidak begitu terlihat. Cahaya petromak yang menggantung di bagian depan perahu
redup tertiup angin. Tidak hanya aku dan Lik Darjo saja di perahu ini. Ada Mas
Bowo dan Mba Laras yang sekarang kelas 6 SD.
Teman-temanku
yang lain memilih tidak meneruskan sekolah. Lebih baik mencari uang untuk
membantu orang tua. Hasilnya jelas terlihat, daripada sekolah yang belum tentu
bisa jadi pintar. Yang ada malahan buang-buang uang untuk beli buku dan
seragam. “Yang penting sudah bisa baca tulis,” begitu kata mereka.
Banyak yang
bilang aku tidak tahu diri, mau-maunya sekolah. Sementara Mamakku kesusahan
mencari uang. Kedua adikku pun masih kecil. Mereka bilang aku anak yang tertua
harusnya mencari uang saja. Tidak. Justru itu aku harus sekolah. Supaya ibu
tidak kesusahan lagi. Dan supaya desaku terang seperti desa di seberang, tempat
aku sekolah sekarang.
Aku bisa
melihat cahaya lampu di sekitar pelabuhan begitu benderang. Cahaya yang selalu
aku impikan. Badanku semakin dingin ketika perahu Lik Darjo mulai merapat ke
pelabuhan. Bukan hanya karena angin pagi ini. Tapi juga karena aku harus memenangkan
lomba. Hari ini aku mengikuti Lomba Mata Pelajaran.
“Lik, aku
berangkat ya?” pamitku pada Lik Darjo setelah turun dari perahu.
“Eh, Bor. Bentar,”
Lik Darjo mengikat tali perahunya di salah satu patok.
“Kenapa, Lik?”
“Kamu mau lomba
kan? Cuci muka dulu. Hidungmu itu hitam banyak asap yang menempel.”
“Iya, Lik.”
“Oia, satu lagi
ini buat pegangan kamu,” Lik Darjo memasukkan uang ke dalam saku di bajuku.
“Kamu harus semangat, jangan mau kalah sama anak kota. Jangan khawatir
ketinggalan perahu buat pulang, Lilik bakalan tunggu kamu sampai pulang.”
“Ya, Lik. Matur nuwun,” aku menjabat tangan Lik
Darjo dan mencium tangannya tanda pamit.
Kami biasa
menitipkan sepeda di warung rames milik Bude Jum yang dekat pelabuhan. Sepagi
ini warung rames sudah buka. Pelabuhan sudah ramai seperti biasa. Ada yang baru
pulang melaut, ada juga yang baru mau berangkat berlayar. Atau sekedar
menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Di pelabuhan ini tidak hanya kapal kecil
saja yang singgah. Tetapi juga ada kapal tangker yang membawa minyak, batubara,
semen, aspal, dan pasir besi.
“Bor, sarapan
dulu! Kamu mau lomba kan hari ini?!” teriak Bude Jum dari dalam warung.
“Sampun, Bude,” sahutku sambil memakai
sepatu. Tidak hanya sepeda, kami pun menitipkan sepatu di warung Bude Jum.
Selain karena takut basah, di desaku memakai sepatu adalah hal yang mewah. Akan
dikira sombong atau pamer jika dari rumah sudah memakai sepatu.
“Bowo! Laras!
Sarapan dulu!”
“Sampun, Bude!” sahut Mas Bowo dan Mba
Laras bersamaan.
“Ya, sudah. Ini
Bude bungkusin rames buat bekel ya, Bor,” Bude memasukkan bungkusan ke dalam
tasku. “Mbok nanti kamu disana sampai
sore.”
“Matur nuwun, Bude.”
“Bowo sama
Laras nanti pulang sekolah tunggu disini saja, kalau Obor belum pulang.”
“Ya, Bude. Kami
berangkat dulu,” jawab Mas Bowo. Diikuti aku dan Mba Laras bergantian menyalami
Bude Jum.
“Ya, ati-ati.”
Dua sepeda jengki melaju beriringan ke sekolah. Melewati
jalan rindang penuh pohon mahoni di samping kiri dan kanannya. Jalanan sudah
mulai ramai anak-anak lain yang juga mau berangkat sekolah. Ada yang diantar
orang tuanya, naik angkot, jalan kaki, dan naik sepeda. Andai aku sama seperti
mereka, tidak perlu bangun lebih awal agar tidak ketinggalan perahu. Malamnya
pun bisa belajar lebih mudah dengan disinari lampu yang terang.
Tapi hidup ini
bukan tempatnya berandai-andai. Keinginan itu harus diwujudkan. Apapun
kesulitannya pasti ada jalan. Entah sekarang atau kapan, yakin pasti impian itu
bisa didapatkan. Aku meyakini ini adalah
titik awal untuk masa depan. Tidak hanya untukku tapi juga orang sekampung
halaman.
Di halaman
sekolah, ramai teman-temanku sedang mengerubungi sebuah mobil hitam mengkilap.
Petugas dari UPT Disdikpora menjemputku dengan mobil itu. Ini pertama kalinya
aku naik mobil. Lututku dingin membayangkan rasanya naik mobil. Di desaku mana
ada yang punya mobil. Bisa naik sepeda saja penuh perjuangan.
Tidak hanya
temanku saja yang berkerumun di halaman sekolah. Semua guru, bahkan masyarakat
sekitar sekolahanku pun ikut berkerumun. Mau bagaimana lagi SD-ku ini juga
bukan di kota. Desa tepi pantai yang penduduknya pun banyak yang hidup jauh
dari kemewahan. Kalaupun ada yang punya mobil itu paling hanya satu dua orang
saja. Itupun mobil bak untuk mengangkut ikan.
“Bor, semangat
ya. Kami semua mendukungmu. Nanti Pak Rusli yang akan mengantar. Menjawabnya
harus yakin. Tidak perlu minder dengan anak kota. Kamu tetap yang paling hebat
di mata bapak,” Pak Kepala Sekolah menasehatiku sebelum berangkat.
“Ya, Pak,” aku
menyalami Pak Kepala Sekolah dan yang lainnya sebelum berangkat.
Di mobil sudah
ada tiga anak dari SD lain. Mereka sama denganku, mewakili kecamatan di Lomba
Mata Pelajaran tingkat kabupaten. Semua orang melambaikan tangannya kepadaku. Saat
mobil yang aku naiki mulai meninggalkan halaman sekolah.
Gedung tempat
lomba dilaksanakan sebenarnya tidak begitu jauh dari sekolahku. Hanya setengah
jam saja sudah sampai. Tapi perutku terasa mual, seperti naik perahu yang
diterjang gelombang tinggi. Ditambah orang-orang yang hilir mudik di depanku.
Pak Rusli membawa
kami ke tempat duduk di samping gedung, “Kalian tunggu disini, saya
mendaftarkan kalian dulu.”
“Kamu Obor yang
dari Kampung Laut itu kan?” tanya anak perempuan di sampingku.
“Iya, kenapa
kamu bisa tau?”
“Bu Guruku yang
bilang. Katanya, ada anak dari Kampung Laut jago IPA. Setiap hari harus naik
perahu berjam-jam buat ke sekolah. Kalau malam harus belajar tanpa pakai lampu.
Kamu saja bisa pintar, aku juga harus bisa seperti kamu. Tenang saja aku bukan
saingan kamu. Aku jagonya Bahasa Indonesia,” terangnya panjang lebar.
Kepalaku masih
terasa berat mendengarnya, akibat perutku yang mual. Tapi penjelasannya itu
membuatku semangat lagi untuk memenangkan lomba. Dia saja bisa semangat karena
tahu perjuanganku. Aku pun juga harus semangat. Ada Mamak yang sudah berjuang
demi menyekolahkanku. Ada desaku yang suatu hari harus terang seperti namaku.
“Ayo kalian
masuk ke ruangan. Ini babak penyisihan dulu. Kalian santai saja, tenang, yang
penting yakin menjawabnya. Bapak tunggu di luar,” Pak Rusli mengantarkan kami
ke ruangan tempat babak penyisihan berlangsung. Setiap mata pelajaran
ruangannya berbeda-beda. “Bor, ini ruanganmu. Mau minum dulu? Atau ke kamar
kecil dulu? Masih ada waktu 10 menit lagi.”
“Iya, Pak,” aku
pamit ke kamar kecil. Mencuci muka, jangan sampai orang-orang tahu hidungku
hitam. Air yang membasuh mukaku terasa segar, menambah semangatku.
Di dalam
ruangan aku duduk sendiri di satu meja. Semua orang terasa asing untukku.
Untungnya soal yang ada di tanganku tidak asing lagi. Aku sudah membaca jenis soal
seperti ini berkali-kali. Semua terasa ringan dalam genggamanku.
Tak terasa
babak penyisihan selesai dengan cepatnya. Semua orang mengerumuni papan
pengumuman yang menunjukkan hasil dari babak penyisihan. Badanku terasa semakin
ringan, begitu Pak Rusli bilang aku lolos ke babak berikutnya. Anak perempuan
yang tadi bersamaku pun lolos. Dua anak lainnya yang juga wakil dari
kecamatanku tidak lolos.
Perlahan tapi
pasti, babak demi babak aku lalui. Tiba saatnya pada babak final. Semua
pesaingku anak kota. Dari sekolah favorit dan pasti dari keluarga yang berada.
Baju mereka lebih putih dari bajuku yang sering terkena asap petromak.
Pendukung mereka pun begitu banyak. Riuh terikannya menggema di telingaku.
Pendukungku hanya Pak Rusli, anak perempuan tadi dan dua anak lainnya. Sayang
sekali anak perempuan itu harus tumbang di babak semi final.
Teriakan itu
dua kali lipat dari sebelumnya. Ditambah lagi semua orang dalam gedung ini
mengerubungiku yang sedang memegang piala juara 1. Banyak dari mereka yang penasaran.
Anak dari Kampung Laut yang daerahnya begitu terpencil, bisa memenangkan lomba
ini. Ucapan demi ucapan aku terima. Pak Rusli menangis memelukku. Berkali-kali
dia mengantarkan anak lomba. Baru kali ini ada yang juara.
“Obor, obor,
minta waktunya sebentar ya, Nak. Foto dulu boleh?” seorang wartawan memintaku
berpose memegang piala. “Siap ya, satu, duaaa, tii...ga.”
***
“Jepret,
jepret, jepret,” suara kamera itu sudah mulai terbiasa di telingaku. Mereka
selalu mengerubungiku setelah selesai perlombaan. Ditambah lagi berbagai
pertanyaan yang menanyakan kemenanganku.
“Obor, ini
sudah ketiga kalinya anda memenangkan Olimpiade Fisika. Saya dengar anda
berasal dari desa yang terpencil, bahkan listrik saja tidak ada. Apa benar
begitu?” seorang wartawan wanita berambut pendek dan berkaca mata tebal
menanyaiku.
“Iya, saya
berasal dari Kampung Laut. Sebuah desa di ujung barat Pulau Nusakambangan,
sangat jauh dari kota. Disana tidak ada listrik. Dari kecil saya selalu
penasaran. Kenapa di kota begitu terang, di desaku sangat gelap bila malam
menjelang? Almarhum bapak saya pernah berpesan, agar saya bisa menerangi
orang-orang di sekitar saya. Itu kenapa beliau memberi saya nama Obor. Saya
harap dengan apa yang saya peroleh sekarang, bisa membuat desa saya terang benderang.”
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar