Namanya wisata retribusi.
Pengunjung bisa menikmati wahana karcis di sana-sini. Nikmatnya luar biasa, fasilitasnya
tidak ada apa-apa. Hanya pohon hijau yang bawahnya berceceran sampah.
Pengelolanya ramah sampai pengunjung pulang dengan penuh kesan. Kesan mendalam
sampai tidak mau datang lagi.
Berkali-kali sebenarnya aku ke
tempat ini. Hanya sekedar naik sepeda pagi-pagi. Atau bersama teman dari masa
kecil, luar kota, sampai yang baru bertatap muka. Menghabiskan berbagai
kenangan dari matahari terbit sampai tenggelam. Dalam keadaan pengunjung ramai
ataupun sepi. Lah, wong tempatnya
tetangga desa.
Tapi baru kemarin ini, merasakan
hangatnya wahana retribusi. Kami bertujuh, hanya aku yang anak lokal. Sisanya
teman dari luar kota. Bersama-sama berangkat dari rumahku sekitar jam sembilan
pagi. Hari masih panjang walau langit mulai mendung tanda akan datangnya hujan.
Laju motor terhenti sejenak di
toko yang tersebar di seluruh Indonesia. “Selamat pagi, Kak. Selamat datang di
Martmaret,” sapa kasir berpakaian biru. Kami membeli bekal amunisi agar bisa
disantap nanti di lokasi. Sudah ada bayangan akan masak-memasak di pinggir
pantai. Merasakan semilir angin dengan segelas mie.
Semua siap perjalanan dilanjut.
Di gerbang masuk, jalan kami terhenti dengan palang besi. Loket seharga Rp.
4.000,00/orang ini bukan wahana retribusi. Keberadaannya sudah ada sejak aku
masih balita. Bahkan saat hutannya waktu itu pernah gundul, loket ini tetap
tegak berdiri.
Aku masih ingat, beberapa bulan
lalu tempat ini pernah melejit. Riuh sekali, fotonya tersebar dimana-mana. Aku
pun ikut serta larut dalam hingar-bingar itu. Kemarin sebenarnya aku pun malas
diajak ke sini. Sudah tahu hari minggu, pasti akan penuh sesak sama seperti
waktu itu. Meriah sekali sampai tempat parkir tumpah-ruwah ke jalanan.
Sekarang, wow, sepi.
Ada, hanya tidak semeriah waktu
itu. Hingar-bingarnya tetap terasa membekas di relung jiwa. Di tempat yang
sama, wujudnya berbeda. Tempat ini sungguh menerapkan hukum permintaan
penawaran dengan baiknya. Aku seperti terhempas lagi ke dalam ruang kelas penuh
modul fotocopy. Dimana barang yang
ditawarkan sedikit, menimbulkan harga jual yang semakin naik. Sama dengan
tempat ini, yang ditawarkan itu-itu saja tapi pungutannya dimana-mana.
Dulu waktu sedang ramai-ramainya,
tidak ada loket Rp. 2.500,00/orang. Sekarang gubug mungil kecil itu ikut
berdiri. Menghentikan siapa saja yang mau naik mendaki. Bukit yang tidak begitu
tinggi, ditumbuhi pohon yang begitu rindang menjulang. Hanya butuh waktu jalan
kaki 15 menit dari parkiran. Kami sudah sampai di tempat yang dulu penuh
kemeriahan. Tidak perlu lagi aku tulis seperti apa meriahnya. Sudah pernah aku
jabarkan di tulisan sebelum ini.
Bedanya sekarang hanya kami yang
memeriahkan. Puas berswafoto tanpa rebutan. Siapa juga yang mau memperebutkan,
sebuah papan bertulis warna-warni di tepian bukit. Sementara tetangga sebelah
terus berinovasi. Membuat wahana terbarukan, menyeret pengunjung terus tanpa
henti. Di tempat ini, bertambah kemeriahannya dalam kesepian.
Keriaan kami di tepi bukit harus
disudahi. Air bah mulai tumpah dari anak-anak langit. Tidak mungkin kami tetap
di tempat ini. Tempat yang begitu mewah ini sampai tidak ada sekotak gubug reot
beratapkan klaras satupun. Jalan ke parkiran
begitu cepat diburu air bah yang mulai mengguyur.
“Parkirnya berapa, Mas? Empat
motor,” tanya temanku.
“Total dua belas ribu, Mba,”
jawab tukang parkir yang berdiri sempoyongan.
“Biasanya satu motor dua ribu,
Mas?” tanyaku.
“Ngga, Mba. Sekarang tiga ribu.”
Oke, tidak sewajarnya aku
pertanyakan uang seribu itu. Apalagi di wisata retribusi yang begitu megah ini.
Turun dari bukit, laju motor
terarah ke pantai di bawah bukit. Pantai yang sebenarnya dari tepian bukit tadi
sudah terlihat. Dari tempat tadi berswafoto tidak bisa langsung turun. Harus
naik motor, melewati pemukiman sepetak desa. Lagi, laju motor harus terhenti.
Masuk wahana retribusi selanjutnya dihitung tiap roda. Cukup lima ribu tiap dua
roda yang berputar. Kalau tidak membayar, rodanya tidak bisa berputar.
Petualangan terhenti, wahana retribusi selanjutnya tidak bisa dinikmati.
Bibir pantainya terbentang luas.
Banyak jalan menembus lebatnya pepohonan. Kami menepi di sebuah warung yang
sepi. Tidak ada penjual, tidak ada pembeli. Memarkirkan motor di teras warung
agar terhindar dari air bah yang terus turun. Kami petualang yang tidak ada
kapoknya menaklukan badai yang menghadang. Jangan kan air bah, wahana retribusi
juga tetap kami hadapi.
Ombak yang memecahkan telinga,
membuat kami pilah-pilih memasang ayunan. Ayunan yang sebenarnya banyak
terpasang di tepian pantai. Bedanya ayunan yang kami bawa begitu rapat dan
kuat. Sangat jelek, kalau ada pantat yang menduduki tidak bisa kentut. Tidak
seperti ayunan yang sudah terpasang, mereka bolong dan rapuh. Jangankan kentut,
siapa pun yang menaikinya akan tertawa karena bisa mendarat dengan sempurna.
Di saat kami santai dengan
kesibukan masing-masing. Ada yang memasang ayunan dan menyiapkan masakan.
Datang sebuah bebek dengan dua angonnya. Menawarkan wahana retribusi lagi.
Inilah puncak wahana yang ada di wisata retribusi ini. Aku jamin kalian akan
sangat gembira bila menikmati wahana yang satu ini. Kami semua diajak tertawa
terbahak-bahak tanpa henti.
Si angon gondrong bilang, “Mba,
bayar sewa tempat duduk?”
Kami yang sedang menyiapkan
masakan tentu tersentak terbahak-bahak. Riuh sekali sampai kami semua
menimpali, “Sewa tempat duduk apa, ya?”, “Ini kan warung tutup, bukan tempat
duduk!”, “Apa maksudnya coba?”, “Kami juga bawa ayunan sendiri!”, “Emang bayar
berapa?”
Si angon tua berkata, “Tiga puluh
ribu, Mba?”
“Wooowww!” sontak kami langsung
bersorak sorai bergembira. “Atas dasar apa ya sampai TIGA PULUH RIBU!”
“Dua orang sepuluh ribu, Mba.”
“KAMI BERTUJUH, MAS. MASA YANG
SATU NGGA DIITUNG. KASIAN TAU!!!”
“Satu tempat duduk kan dua orang,
Mba. Yang satu berdiri aja.”
“MANA TEMPAT DUDUKNYA SIH, MAS!”
“Lah, itu ada satu yang lagi
duduk. Makanya kalian bayar biar yang berdiri bisa duduk semua. Ini kami sudah
dapat ijin dari koramil sini buat menjalankan wahana ini loh, Mba,” keluh si
angon tua dengan bangganya.
“YA, UDAH KAMI BAYAR. TAPI HABIS
INI ADA WAHANA LAGI APA NGGA!?”
“Tentu ngga, Mba. Ini puncaknya.
Nanti kalau ada yang nawarin lebih murah dari kami, tolak saja, Mba. Kami ini
sudah yang paling berkelas. Penguasa tempat ini. Mba juga dapat minum supaya
ngga lelah. Karena tertawa juga menguras energi loh, Mba.”
Si angon tua memberi kami tiga
piagam, sebagai tanda sah beserta minuman yang di gadang-gadang dari pihak
sponsor. Selesai urusan, para angon pergi menggiring bebeknya. Berharap masih
ada lahan lain yang bisa dipanen. Yang seharusnya mereka sadari setelah pergi,
mereka sedikit pun tidak mendapatkan apa-apa. Karena kamilah juaranya,
pengunjung lain mana ada yang mau menang. Mereka berbondong-bondong menyatakan kalah.
Lebih baik ke tetangga sebelah.
Mereka benar, yang tadi itu
adalah puncak wahananya. Setelah itu, hujan tidak turun lagi. Langit berganti
lebam membiru. Dentuman ombak tidak terdengar lagi. Semua terasa sunyi, kami
larut dalam kesedihan. Membakar kompor kecil dengan segelas kopi dan mie
instan. Menangis lirih dalam ayunan yang tidak boleh duduk dikentuti. Karena lebih
nyaman untuk ditiduri dengan angin sepoi-sepoi yang menusuk hati.
Kami berharap pengelola menambah
wahana baru lagi. Dimana pengunjung seperti kami yang membawa pulang sampah
harus diberi sanksi. Sampah di wisata retribusi ini harus dilestarikan layaknya
edelweis. Siapapun yang melestarikan sampah akan dapat penghargaan. Yang membawa
pulang harus dipidanakan. Dijamin pengunjung akan berbondong-bondong ingin
datang lagi. Spot swafoto semakin banyak. Lahan uang bertambah sampai tercecer
ke tetangga sebelah.
Piagam retribusi paling berkelas. |
Ayunan kami yang jelek, tidak bolong itu. |
Gedong warung yang tidak ada penjual dan pembelinya. |
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar