Thursday, September 15, 2016

Renungan Dalam Senja Di Bukit Merese



Pola hidup semua orang di dunia sama saja. Semua orang punya masalah, pernah sedih, bisa senang, dicintai mencintai, bosan, galau, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hanya saja versi ceritanya berbeda-beda. Tergantung keadaan masing-masing setiap orang tentunya.

Aku sedang dilanda kebosanan luar biasa ketika berangkat ke Lombok tanahnya suku Sasak. Bukan karena kegiatan setiap hari yang begitu-begitu saja. Tapi justru karena tidak punya kegiatan. Ya, aku pengangguran. Lama menganggur dan berkali-kali menganggur membuat hidupku membosankan. Bosan mendengar omongan orang, “Kamu itu sarjana, harusnya di sana?”

Sampai suatu hari dengan modal iseng belaka, aku mendapatkan tiket ke Lombok PP dan penginapan dari sebuah perlombaan. Ini bukan lagi lumayan. Untuk seorang pengangguran bisa jalan-jalan ke Lombok gratis adalah berkah yang tak terkira. Kalaupun aku tetap bekerja, menabung dari gajiku saja tidak akan bisa pergi ke sana. Uang cukup pun, pasti tidak dapat cuti kerja.

Hati begitu bahagia menyiapkan tas ransel dan mencari tahu tempat wisata yang harus dikunjungi. Tapi itu hanya seketika, langsung gundah gulana begitu orang tua tidak mengijinkannya. Bagaimana tidak? Anak perempuan satu-satunya mau pergi keluar pulau Jawa. Sendirian tanpa teman. Ditambah lagi status pengangguran yang berbulan-bulan tidak berpenghasilan.

Tidak, aku harus berangkat. Ini kesempatan yang tidak boleh terlewatkan. Sesungguhnya ada ketakutan terselip di hati yang terdalam. Berangkat tanpa restu orang tua, bagaimana bila di jalan terjadi bencana? Kantong kempes berbulan-bulan, bagaimana kalau kehabisan uang? Berjalan sendiri tanpa teman, bagaimana jika pulang tinggal nama?

Tujuanku menjadi bertambah. Bukan hanya sekedar jalan-jalan membunuh kebosanan. Tapi juga pembuktian, bahwa aku tidak seperti yang mereka katakan. Akhirnya aku pun berangkat ke Lombok dengan bekal banyak pikiran. Tidak perlu kemana-mana, sebenarnya kita semua juga tidak tahu sedetik lagi seperti apa. Aku harus siap apapun yang akan terjadi tiba-tiba. Dari semua tempat yang aku kunjungi di Lombok, di Bukit Merese aku menitikan air mata.

Air mata tidak percaya, anak pembangkang orang tua bisa berada di tempat seindah ini. Air mata penuh syukur, seorang pengangguran bisa berjalan jauh dengan modal receh secuil. Air mata bahagia, karena berhasil mengalahkan ketakutan dalam hati. Air mata pembawa keyakinan, bahwa aku pasti bisa lebih dari ini. Air mata yang pasti akan aku rindukan suatu saat nanti.
Sesunguhnya, bukit ini pun tidak masuk dalam daftar tempat yang harus aku kunjungi. Tapi karena teman seperjalanan mengajak ke bukit ini. Ya sudah, aku ikuti. Dari rumah memang aku sendiri, tapi aku sadar diri. Perjalanan ini harus ada yang menemani. Akhirnya aku bergabung dengan teman-teman backpacker yang menginap di rumah singgah.

Berdua belas kami seharian menjelajahi Lombok Tengah. Dari air terjun yang menyejukkan sampai pantai yang menawan. Aku baru mengenal mereka di hari itu dan memutuskan berjalan bersama. Saat menginjakkan kaki di Bukit Merese, sebenarnya aku terpisah dari rombongan. Teman yang lain menuju Batu Payung, aku berdua dengan temanku berhenti di Tanjung Ann.
Masih terlalu siang, senja belum datang.
Masih terlalu siang untuk menikmati senja di Bukit Merese, tujuan akhir menutup hari. Jalanku begitu lambat menaiki bukit yang tidak begitu tinggi. Seharian berjalan badan mulai lelah, belum lagi kemarau panjang membuat tanah begitu kering. Angin menyapu lembut wajahku saat sampai di atas bukit. Yang kadang membuat mata perih sedikit.

Sepasang kekasih baru saja selesai foto prewedding.  Di satu-satunya pohon yang dahan dan rantingnya mengering. Mengabadikan moment sebelum mereka bersanding. Mataku menatap iri merasa kalah saing. Bagaimana tidak iri, sampai sekarang aku belum punya pendamping. Walau begitu aku tidak mau ambil pusing. Aku yakin suatu hari nanti akan ada seseorang datang mengisi hatiku yang tengah kering.
Sendirian, di pohon yang kering.
Badan yang lelah ini aku sandarkan pada sebuah batu. Menghadap pada laut lepas menunggu matahari yang mulai turun. Ombak di bawah bukit terdengar suaranya saling beradu. Pikiranku melayang mencari jawaban atas segala pertanyaan yang begitu mengusik hatiku. Kepalaku tertunduk mencari jawaban itu.
Matahari sudah mulai turun.
Perlahan matahari mulai terlihat membulat jelas. Yang tadinya begitu terang susah dipandang. Menjadi kuning kunyit menunjukkan senjanya datang. Lidahku tersekat tak mampu berucap. Mataku tak ingin berkedip walau hanya sedetik. Saking terpananya, aku hampir lupa dengan kamera yang dari tadi pagi memenuhi tasku.
Senja dari Bukit Merese.
Teman-temanku yang dari Batu Payung mulai datang. Kami bersama menikmati senja sore itu dengan caranya masing-masing. Mengabadikan moment, bercengkrama dengan yang lain, atau diam dalam perenungan. Tidak ada yang salah dengan apapun yang terjadi di hari ini yang mulai petang. Tidak ada yang salah juga, siapapun kita semua berhak bahagia dengan caranya masing-masing. Walau berbeda tetap duduk bersama, berbagi cerita.
Duduk bersama, berbagi cerita.
Entah bersyukur atau apa, aku hanya tidak menyesal dengan apapun yang sudah terjadi di hidupku. Meski aku sedang duduk di tepian tebing, tapi senja mengajarkanku bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Esok masih ada. Mengapa senja begitu indah di sore hari? Karena dia sudah begitu bersemangat di pagi hari, bekerja keras dan menghadapi apapun rintangannya di siang hari. Memberi jeda untuk beristirahat di malam hari.

Hari mulai petang, sudah waktunya langkahku berbalik pulang. Bukan untuk menyerah, tapi untuk mempersiapkan diri esok pagi. Bila hari esok aku akan kalah lagi, aku sudah tau bagaimana berdamai dengan diri ini. Bukan mencari-cari siapa yang salah, karena mencari kesalahan hanyalah menambah luka hati. Hati ini berhak bahagia dengan apapun pilihannya.
Waktunya pulang, menuruni bukit yang gersang.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts