Showing posts with label pantai. Show all posts
Showing posts with label pantai. Show all posts

Sunday, January 7, 2018

Pesona Alcatraz-nya Indonesia

Kalian tahu Alcatraz? Tempat yang konon menjadi penjara paling menyeramkan di dunia. Kali ini saya bukan mau bercerita tentang Alcatraz. Karena saya juga belum pernah menginjakkan kaki di sana. Ini cerita tentang tempat yang disebut-sebut sebagai Alcatraz-nya Indonesia. Ya, itulah Pulau Nusakambangan.

Pulau dengan luas sekitar 210 km2 ini terkenal dengan penjara kelas kakapnya. Total ada sembilan lapas yang ada di Nusakambangan. Namun sekarang hanya empat yang masih beroperasi, yaitu: Lapas Batu (dibangun 1925), Lapas Besi (dibangun 1929), Lapas Kembang Kuning (tahun 1950), dan Lapas Permisan (tertua, dibangun 1908). Dan sudah banyak nara pidana yang dieksekusi mati di sana. Seram, ya.

Saturday, September 16, 2017

Ini Dia Spot Menikmati Senja Di Cilacap



“Bro, ini kok ngga sunset-sunset sih?” celoteh teman di sebelah saya dengan mulut penuh siomay.
“Sunset?” saya mengernyitkan dahi dengan alis mata kanan sedikit terangkat.
“Iya, kalau sore kan sunset.”
“Hadew, mana ada sunset di sini. Kamu mau nunggu sampai nenek-nenek juga ngga bakalan keliatan.”

Begitu obrolan saya dengan seorang teman yang baru hijrah dari Jakarta ke Cilacap. Cilacap memang daerah di bagian selatan Pulau Jawa. Kalau secara logika, bisa melihat matahari terbit dengan menengok ke timur dan matahari tenggelam tinggal melihat ke arah barat. Selesai.

Kenyataannya tidak semua tempat seperti itu.

Kalau kalian mengenal Teluk Penyu di Cilacap yang begitu tersohor itu, sesungguhnya si bibir pantai menghadap ke timur bukan selatan. Tau kan arti dari teluk? Hayolo, jangan bilang lupa. Sama. Saya pun lupa, tapi tidak usah panik mari kita piknik.

Teluk adalah perairan laut yang menjorok ke daratan. Begitu pengertian singkat dari teluk, hasil saya piknik di maha dewa google. Jadi di Teluk Penyu ada bagian dataran yang melengkung. Itulah mengapa ada bagian bibir pantai yang menghadap ke timur. Bagian yang menghadap ke timur inilah tempat di mana kita bisa menikmati matahari terbit.

Jadi kalau ada yang mengajakmu, “Nyanset, yuk, ke Teluk Penyu!” Apalagi sampai posting foto matahari di Pantai Teluk dengan caption ”sunset”. Hadew, ini sih ocehan people bumi datar jaman now. Mau nunggu kiamat biar bisa lihat matahari terbenam dari timur kali. Ya monggo, aku sih ogah. Bumiku bulat, kok.

Saya belum pernah menikmati matahari terbit di Teluk Penyu ini. Bahkan matahari terbit di belahan dunia mana pun, nyaris belum pernah saya nikmati. Maksudnya, motret matahari terbit atau sekedar menikmati bangunnya mentari. Malas bangun pagi? Tidak juga. Hanya malas keluar kandang pagi-pagi buta. Pernah mencoba tapi selalu hasilnya tak seindah yang dibayangkan.
Saya kaum senja, yang lebih memilih menunggu dari pada mengejar. Kalau berbicara tentang senja, behhhh, mau di mana pun saya akan bilang, “Ayo!”. Pasti saya langsung berangkat tanpa kemalasan yang menyertai. Sudah baca senja di Bukit Merese yang membuat air mata saya berlinang? Baca dong, di sini ya.

Lalu kalau mau menikmati senja di Cilacap yang syahdu, haru, dan mendayu-dayu ada di mana?

Pelabuhan Sleko

Pelabuhan ini letaknya tidak jauh dari pusat kota Cilacap. Lurus terus ke arah timur kalau kalian dari alun-alun. Di ujung jalan kalian akan menemui plang “Selamat Datang di Pelabuhan Sleko”. Masuk saja cari tempat parkir yang tidak jauh dari dermaga.

Sudah beberapa kali saya ke Pelabuhan Sleko ini. Tapi saya tidak tahu jadwal kapal yang ke atau dari pelabuhan. Setiap kali naik kapal dari Pelabuhan Sleko ini selalu rombongan, jadi sudah pasti kapalnya sewaan. Seperti sewaktu saya ke Pantai Rancahbabakan yang berada di ujung barat Pulau Nusakambangan.

Nah, kalau kalian hanya sekedar ingin menikmati senja di Pelabuhan Sleko ini datanglah saat sore menjelang. Ya, iyalah masa pagi-pagi nyari senja. Saran saya datanglah sekitar jam 5. Memang matahari belum begitu turun. Malahan terkadang masih panas. Tergantung musim juga sih.

Saya dua kali ke sini untuk sekedar menikmati senja. Yang pertama sedikit gagal. Sebenarnya cuaca sedang bagus-bagusnya. Apa daya, ketika waktunya tiba, awan menutupi senja yang sedang cantik-cantiknya. Kedatangan kedua, membuat saya takjup tidak bisa berkata-kata. Senja yang bulat cantik sempurna dengan kapal yang hendak pulang ke peraduan.

Dari kedua waktu yang berbeda itu, ada satu hal yang sama. Kedatangan kapal tangker! Bila kalian tidak suka berselfie ria, kapal tangker ini bisa menjadi hal yang dinanti. Seperti menanti seseorang yang telah lama pergi. Ia akan ada walau rasa tak sama lagi.
Kapal tangker yang selalu lewat ketika senja di Pelabuhan Sleko
Sesungguhnya senja kali ini tidak memiliki makna yang begitu berarti untuk saya pribadi. Seolah-olah sudah ribuan senja saya temui, semuanya sempurna sampai tidak menemui makna. Tapi senja tetaplah senja, mau jutaan kali datang tetap tak akan kehilangan panggung. Ia akan tetap berdansa dengan segala macam romansa. Mengalunkan nyanyian untuk jiwa yang kesepian. Memainkan peran sebagai tokoh yang selalu dirindukan. Merayakan hingar-bingar bak petasan yang menggelegar.

Pantai Sodong

Tempat kedua yang saya sarankan tapi tidak saya sarankan. Kok seperti tidak niat? Iya, sampai detik ini saya masih mendengar perlakuan tidak nyaman di pantai yang satu ini. Kalian bisa membacanya di sini untuk lebih tahu apa yang pernah saya alami. Dan hal serupa masih saja berjalan dengan baik sampai saya menulis ini.

Pantai Sodong terletak di Desa Karangbenda Kecamatan Adipala. Kurang lebih berjarak 25 km dari pusat kota Cilacap ke arah timur. Kalian bisa tahu arah jalannya dari postingan saya tentang View Gunung Selok. Yap, Pantai Sodong dan Gunung Selok masih satu lokasi.

Hamparan pantai yang kalian lihat di View Gunung Selok itu adalah Pantai Sodong. Pantai dengan panorama komplit ini sebenarnya bisa menjadi primadona. Sayang, ah, kalian baca saja postingan saya tautkan pertama.

Bagaimana tidak menjadi primadona?

Pantai Sodong tepat dibawah Gunung Selok dengan aliran sungai dan persawahan yang memisahkannya. Di tepian pantai banyak ditumbuhi pohon cemara yang berjejer teduh. Apalagi kalau datangnya sore hari menjelang senja.

Kalian akan melihat pemandangan seperti ini:
Senja horey di Pantai Sodong.
Waktu saya datang memang bukan saat yang tepat karena senjanya tertutup awan. Kalau kalian datang di waktu yang tepat, mungkin akan lebih bagus mendapatkannya. Tentang kesannya, ya, tergantung perginya sama siapa.

Bukankah sebaik-baiknya perjalanan bukan tentang pemandangan. Tapi tentang manusia yang hidup, menghidupi, dan dihidupi karenanya.

Dan, bila kalian bertanya padaku, “Senja mana yang paling melekat di hati?”. Semuanya! Bahkan ketika cahaya jingga menyelinap masuk lewat jendela. Yang saya nikmati pergantian warnanya ketika baru bangun tidur di sore yang enggan. Tetap meninggalkan rasa di dada. Entah sendu, syahdu, ragu, atau malu.

NB: Dan tentang senja di Cilacap, selanjutnya pasti ada lagi. Tungguin part selanjutnya, ya! (Ini adalah penutupan sebagai upaya agar dibilang travel blogger) (padahal, nganu) (apalagi judulnya, duh!)

Wednesday, May 10, 2017

Desa Pasir, Wisata yang Kekinian dan Menawan



Bagaimana rasanya tinggal di tepi pantai?

Setiap pagi bagun dengan semangatnya sunrise. Setiap siang terbuai dengan angin yang sepoy-sepoy. Setiap sore larut dalam hangatnya sunset. Setiap malam menggantungkan mimpi di antara ribuan bintang.

Itu yang saya bayangkan ketika mengunjungi Desa Pasir, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen. Desa yang memilki keindahan pemandangan tepi pantai yang indah. Pantai sekaligus bukit beserta tebing-tebingnya. Jadi, pengunjung tidak hanya disuguhkan pemandangan tepi pantai tapi juga dari atas bukit sehingga bisa melihat hamparan laut yang luas.
Keadaan tersebut membuat Desa Pasir layak menjadi destinasi wisata. Spot untuk berswafotonya juga banyak. Baik yang berornamen kekinian atau pemandangan yang masih alami, semuanya bagus-bagus. Tempat yang dibuka untuk objek wisata pun tidak hanya satu, tapi beberapa.
Lokasi Desa Pasir ini juga mudah dijangkau kendaraan bermotor. Desa Pasir ini terletak di bagian barat Kabupaten Kebumen. Kalau dari kota bisa lewat Gombong lalu ke arah Karang Bolong. Desa Pasir ini bersebelahan dengan Karang Bolong.

Saturday, January 21, 2017

Berswafoto Ria Di Pantai Watu Bale Dan Bukit Panduran



Semesta itu sudah indah apa adanya. Laut, gunung, pohon, air, langit, daratan, dan apa pun itu memang sudah indah dari awalnya. Tinggal bagaimana manusia sebagai makhluk paling sempurna memanfaatkannya.

Di belahan Indonesia bagian mana pun tiap hari nampaknya melahirkan tempat wisata baru. Pergerakan ini terus meningkat seiring berkembangnya media sosial dan kreatifitas masyarakat. Seperti yang terjadi di Kebumen.

Nyaris semua pantai dari Ayah sampai Karang Bolong menjadi objek wisata baru. Banyak postingan di instagram betapa objek wisata baru itu sangat instagramable dengan tempat swafotonya. Sebelum merebak seperti sekarang saya sudah pernah mengunjungi Pantai Ayah dan Pantai Menganti. Dan baru beberapa waktu lalu saya punya kesempatan mengunjungi Pantai Watu Bale.

Selamat datang di Pantai Watu Bale dan Bukit Panduran.



Monday, December 5, 2016

Ransel Andalanku


“Hah! Kamu cuma bawa tas ini doang?!” tanya temanku setengah teriak setengahnya lagi heran.

Aku hanya membawa sebuah tas ransel ukuran 25x15x35 cm saja. Itu untuk perjalanan ke Jember dan Jogja selama 3D2N. Apa isinya? Tiga baju, satu celana, satu jilbab, mukena, peralatan mandi, charger, dompet, dan beberapa pakaian dalam.
Keliatannya kecil, isinya banyak.
Bukan masalah banyak atau sedikit yang dibawa tapi bagaimana cara packing yang benar. Bawalah barang-barang yang penting saja. Banyak barang yang dibawa biasanya karena kita tidak tahu apa yang dibutuhkan. Belum lagi kalau nanti pulangnya beli oleh-oleh, hadeh makin beratlah bawaannya.

tas yang setia menemaniku
Tas ranselku ini tidak hanya menemaniku ke Jember ataupun Jogja. Sudah banyak tempat yang kami datangi bersama-sama. Sekedar pergi hangout sama teman, nge­-trip deket rumah, longtrip ke Lombok, bahkan ke kantor pun aku bawa tas ini. Pokoknya sudah lebih dari lima tahun tas ini menemaniku ke banyak tempat.

Bosen kah?

Aku sih kalau sudah nyaman males cari yang lain. *uhuk*

Tuesday, November 29, 2016

Pantai Di Cilacap Part 4: Bersepeda Pagi Ke Pantai Bunton



“Mba, besok pagi sepedaan, yuh,” kata Mamah di malam minggu yang pahit ini.

Malam di mana muda-mudi seusiaku sedang berhaha-hihi di pojok sebuah cafe. Entah ada gunanya atau tidak, yang penting eksis dulu. Agar tidak terlihat merana. Aku? Mana bisa nongkrong di malam minggu.

Bukan hanya karena status yang menyakitkan itu. Tapi nongkrong di dekat tempat tinggalku, itu cuma bisa dengar jangkrik main gitar akustik. Atau paduan suara dari kodok yang nongkrong di pojok-pojok sawah. Yang paling aku suka hanya nyanyian angin sunyi, di mana bisikannya selalu menenangkan.

“Mba,” Mamahku memanggilku lagi untuk meyakinkan kalau anggukan kecil yang aku berikan benar-benar jawaban, iya.

“Emmmm, ya,” suaraku keluar dengan malasnya.

“Kamu itu perlu sepedaan, keluar rumah biar sehat. Kalau di ... .”

“Iya, besok sepedaan,” kali ini aku cepat menyahut karena benar-benar malas mendengar ocehan Mamahku. Yang semakin dibiarkan semakin menjadi-jadi.
Sepeda yang aku pakai pagi ini.

Monday, October 24, 2016

Jelajah Jawa Tengah Dari Kaki Gunung Sampai Pantai Bersama Mamih



Hai, aku Kero!

Hai, para pejalan!

Perkenalkan, aku Kero, punya sayap tapi belum bisa terbang. Aku sama seperti anak jaman sekarang yang selalu ingin dibilang kekinian. Bukan lebay, tidak tahu diri, atau hanya meninggikan gengsi. Aku pikir semua jaman juga ada kekiniannya masing-masing. Semua orang suka atau tidak suka pasti pernah merasakan kekinian di jamannya. Walau hanya sekali saja.

Belum genap dua bulan aku diadopsi oleh @kisahkasih_. Ya, dialah Mamihku sekarang. Aku tuliskan ceritaku ini karena si Mamih selalu bilang, “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari.” Kata-kata yang itu dia kutip dari bukunya Pramudya Ananta Toer, penulis idolanya Mamih.

Awalnya aku sama seperti kalian. Senang sekali menulis dengan kata-kata yang unik atau temannya Mamih bilang itu alay, sampai susah dibaca. Tapi Mamih bilang, “Tidak apa kamu ingin berbeda, tapi jangan lupa berbagi dengan yang lainnya jauh lebih berharga. Kalau tulisanmu hanya bisa kamu baca sendiri, buat apa?”

Tuesday, October 4, 2016

Mari Menikmati Wisata Retribusi, Wahananya Banyak Menyenangkan Hati



Namanya wisata retribusi. Pengunjung bisa menikmati wahana karcis di sana-sini. Nikmatnya luar biasa, fasilitasnya tidak ada apa-apa. Hanya pohon hijau yang bawahnya berceceran sampah. Pengelolanya ramah sampai pengunjung pulang dengan penuh kesan. Kesan mendalam sampai tidak mau datang lagi.

Berkali-kali sebenarnya aku ke tempat ini. Hanya sekedar naik sepeda pagi-pagi. Atau bersama teman dari masa kecil, luar kota, sampai yang baru bertatap muka. Menghabiskan berbagai kenangan dari matahari terbit sampai tenggelam. Dalam keadaan pengunjung ramai ataupun sepi. Lah, wong tempatnya tetangga desa.

Tapi baru kemarin ini, merasakan hangatnya wahana retribusi. Kami bertujuh, hanya aku yang anak lokal. Sisanya teman dari luar kota. Bersama-sama berangkat dari rumahku sekitar jam sembilan pagi. Hari masih panjang walau langit mulai mendung tanda akan datangnya hujan.

Thursday, September 15, 2016

Renungan Dalam Senja Di Bukit Merese



Pola hidup semua orang di dunia sama saja. Semua orang punya masalah, pernah sedih, bisa senang, dicintai mencintai, bosan, galau, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hanya saja versi ceritanya berbeda-beda. Tergantung keadaan masing-masing setiap orang tentunya.

Aku sedang dilanda kebosanan luar biasa ketika berangkat ke Lombok tanahnya suku Sasak. Bukan karena kegiatan setiap hari yang begitu-begitu saja. Tapi justru karena tidak punya kegiatan. Ya, aku pengangguran. Lama menganggur dan berkali-kali menganggur membuat hidupku membosankan. Bosan mendengar omongan orang, “Kamu itu sarjana, harusnya di sana?”

Sampai suatu hari dengan modal iseng belaka, aku mendapatkan tiket ke Lombok PP dan penginapan dari sebuah perlombaan. Ini bukan lagi lumayan. Untuk seorang pengangguran bisa jalan-jalan ke Lombok gratis adalah berkah yang tak terkira. Kalaupun aku tetap bekerja, menabung dari gajiku saja tidak akan bisa pergi ke sana. Uang cukup pun, pasti tidak dapat cuti kerja.

Wednesday, March 9, 2016

Pantai Di Cilacap Part 3: Pantai Rancah Babakan - Hidden Paradise Di Ujung Barat Nusakambangan


Jalan sendiri asik, jalan berdua asik, jalan rame-rame juga asik. Pokoknya jalan sama siapa asik-asik saja.

Beberapa hari yang lalu aku ikut open trip Explore Cilacap ke pantai Rancah Babakan. Kenapa harus open trip segala? Karena untuk mencapainya tidaklah mudah. Ada tantangan sendiri yang membuat perjalanan jadi penuh sensasi.

Cilacap memang punya banyak sekali pantai. Dari pantai Jetis sampai Segara Anakan, belum lagi yang di pulau Nusa Kambangan. Ada puluhan pantai yang bisa kalian singgahi. Dan tentunya dengan pemandangan yang berbeda-beda. Setiap pantai punya ciri khasnya sendiri. Tidak hanya sekedar pertemuan ombak dan pasir.

Wednesday, December 30, 2015

Pantai Di Cilacap Part 2: Pantai Kali Kencana, Salah Satu Pantai Tersembunyi Di Selatan Pulau Nusakambangan



Pulau Nusakambangan, satu-satunya pulau di kabupaten Cilacap menyimpan sejuta misteri. Dari flora faunanya, penghuninya, kandungan energi di dalamnya, keindahan alamnya, sampai jodoh yang entah kemana. Hiya, baper. Sebagian besar pulau ini masih berupa hutan belantara. Mungkin ini juga yang membuat pulau ini menyimpan sejuta misteri.

Pada kesempatan kali ini aku dan Bita mencoba memecahkan salah satu misteri itu. Apakah? Kali Kencana. Salah satu pantai tersembunyi di bagian selatan Nusakambangan. Di sepanjang pulau Nusakambangan sebenarnya banyak sekali pantai yang bagus-bagus. Hanya tidak semua pantai dibuka sebagai objek pariwisata. Karena memang sebagian besar pulau Nusakambangan masih berbentuk hutan belantara.

Kemarin waktu kesana aku dan Bita tidak hanya berdua. Kami ikut rombongan open trip dari anak-anak Explore Cilacap. Sekitar 60 orang berkumpul di Areal 70 Pantai Teluk Penyu. Rencana kumpul jam 8, tapi nyatanya baru naik perahu setengah 10. Sebelum berangkat aku sempatkan dulu sarapan di warung pinggir pantai. Selembar mendoan dan sebuah lontong cukup mengganjal perut.
kapal yang mengantar kami ke dermaga sebelum memasuki hutan

Naik perahu ke dermaga menuju Kali Kencana sekitar 15 menit. Dermaganya tidak berbentuk seperti dermaga. Malahan kalau tidak tahu lewat situ paling mikirnya cuma bangunan runtuh. Mending keliatan bangunannya, runtuhan bangunan itu sudah ditumbuhi semak-semak dan lumut. Kapal yang aku naiki adalah kapal pertama yang sampai dermaga. Satu kapal berisi 15 orang dan dari kami belum ada yang pernah kesini. “Krik” moment pun terjadi.
keadaan dermaga

Sambil nunggu anak-anak yang lain, sempat terbesit pikiran, “Ini beneran kita kesini?”. Tidak ada penunjuk arah. Jalan setapak pun tidak ada. Hanya ada semak belukar, pohon-pohon besar, yang diantara itu hanya terbuka sedikit jalan cuma muat satu orang. Itu pun kaki kita harus membelah rerumputan yang tumbuh liar sepanjang jalan.
jalan masuk menuju Kali Kencana

Lima menit berlalu, masih “krik”. Sepuluh menit berlalu, ada satu kapal mendarat di dermaga. Dan tetap tidak ada satu orang pun diantara kami yang tahu jalan. Lima belas menit berlalu, kapal ketiga sampai dan hanya satu orang dari panitia yang ikut kapal. Ngobrol sana sini, diskusi muter-muter akhirnya kami sepakat mulai jalan pelan-pelan hanya dengan satu pemandu.

“Bismillah, semoga berangkat dan pulang selamat,” hanya itu doaku ketika mulai memasuki jalan menuju Kali Kencana. Dari yang tadinya “krik” moment, tiba-tiba jadi “syok” moment. Aku pikir jalannya hanya membelah rerumputan yang datar, tapi itu cuma dua meter dari dermaga. Setelah itu jalan menanjak, seperti mendaki gunung dengan tanah yang basah. Aku langsung mencari ranting pohon sebagai alat bantu. 
jalan menanjak di awal perjalanan

Sudah 10 menit berjalan, “Kuat, kuat, kuat. Aku pasti bisa. Ngga boleh nyerah. Ambruk. Apalagi pingsan.” Iya sih berangkatnya rame-rame. Tapi siapa juga yang mau nolongin. Kita semua juga cape jalan bawa badan sendiri. Sambil berharap ada yang istirahat jadi aku ikut berhenti istirahat juga. Emang sih, aku jalan di rombongan paling depan. Kalaupun mau istirahat di belakangku juga masih banyak orang. Tapi tidak ada yang aku kenal selain Bita dan rombongan depanku ini. Nanti kalau rombongan belakang juga ninggalin aku bagaimana? Di tengah hutan belantara? Oh, no.

jalan terus menembus semak-semak
Setengah jam lebih berlalu, jalan sudah mulai datar, tidak menanjak lagi. Tapi. Bentar. Sayup-sayup diantara suara kaki yang beradu dengan tanah basah terdengar suara yang di telinga masih asing. Pemandu yang cuma seorang diri itu memperingat supaya kami jarak jalannya rapat. Bulu kuduk agak berdiri mendengar suara itu. Clingak-clinguk ke arah suara juga percuma. Yang terlihat cuma pohon yang lebat dan menjulang tinggi.

emmm, gitu deh suaranya. hmmmm
Menembus rerumputan sudah, jalan licin menanjak sudah, suara aneh sudah, jembatan kayu sudah, jalan di tepian jurang sudah, nabrak ranting pohon yang menjalar ke bawah sudah, hampir terpelet sudah, sepatu nancep ketinggalan di lumpur juga sudah. Ngos-ngosan pasti, baju basah penuh keringat pasti, haus otomatis, kaki pegel belepotan penuh lumpur jelas. Kurang lengkap apa coba? Apa lagi nih yang belum? Belum sampai tempat tujuan lah pastinya.

Di tengah hampir putus asa tapi ngga boleh. Ya, masa sudah setengah jalan mau balik. Kaki terus melangkah walau yang penting bisa dilangkahkan. Tiba-tiba sebuah semangat timbul. Telinga ini mendengar sesuatu yang kali ini tidak asing. Suara air mengalir diantara bebatuan itu terdengar jelas. Segar seketika yang dirasa, padahal sejauh mata memandang sumber air itu belum terlihat. Suara air memang menenangkan, apalagi di tengah hutan yang masih asri seperti ini.

Dan benar saja, kami melewati sungai. Benar-benar jalan di tengah sungai. Tenang saja, sungainya kecil dan banyak batu besar. Jadi kita bisa berjalan di antara bebatuan atau kalau takut licin ya jalan di sungainya saja. Sungainya tidak dalam, paling 15 sampai 20 centimeter. Kami istirahat sejenak, duduk di bebatuan. Minum dulu, atur napas, cuci kaki yang belepotan penuh lumpur, tidak lupa selfie.
istirahat di sungai

Setelah lima menit istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri sungai, naik ke daratan, ketemu sungai lagi, ada air terjunnya kecil. Ada yang berhenti lagi, foto-foto, minum, ada juga yang lanjut. Aku memilih melanjutkan perjalanan. Kali ini jalannya mulai turun dan licin juga. Hanya saja lebih gelap karena pohon lebih rindang. Dan suara asing itu muncul lagi, lebih keras. Ya, Tuhan lindungi aku.

air terjun yang kecil
Tapi kami hanya diam dan tetap berjalan. Sambil berdoa dalam hati. “Syok” moment sudah lewat. Yang ada hati sudah mulai ikhlas dengan perjalanan, bersahabat dengan apapun itu yang ada di jalan. Sedikit berharap semoga lekas sampai tujuan.

Entah sudah berapa lama kaki ini melangkah. Sampai ketemu sungai lagi, pengin istirahat lagi. Tapi dikasih tau kalau 15 menit lagi sampai. Niat istirahat diurungkan dengan iming-iming “hampir sampai”. Jalan lagi, masih hutan. Tapi benar, baru jalan sebentar aroma asin air laut mulai tercium. Deburan ombak sudah mulai terdengar.

sungai terakhir

mulai terdengar deburan ombak
padang rumput sebelum pantai Kali Kencana
Akhirnya kami keluar dari hutan dan mendapati padang rumput yang luas denga pohon kelapa yang menjulang tinggi. Sejauh mata memandang padang rumput yang hijau belum terlihat pantainya. Tapi hati sudah senang sekali bagai punduk mendapatkan bulan. Dan, finally!!! Jreng, jreng, jreng. *drum roll*

Inilah pantai Kali Kencana.

Sampai di TKP langsung nggelosor, selonjoran. Kalau kakiku bisa ngomong mungkin dia lagi sujud syukur, “Alhamdulillah, akhirnya.” Tak cuma kaki sih, tapi sekujur badan. Aku buka tas ransel ungu hitam andalanku, ada satu pak roti isi 5 buah dan air minum dua botol. Bita masih memegang satu botol air mineral yang tinggal seperempat isinya. Ngemil roti sambil menikmati semilir angin pantai.

Pantai Kali Kencana ini menghadap langsung ke Samudra Hindia. Jadi tidak heran kalau ombaknya sangat besar. Kiri kanan pantai ada tebing dan batu yang besar, di tengah agak ke sebelah kanan juga ada batu besar menjulang ke atas. Tepian pantainya berpasir abu-abu, putih sekali tidak, hitam pekat pun tidak. Di samping kiri ada muara Kali Kencana, kalau mau berenang sebaiknya di muara saja yang airnya tenang. Muara ini adalah aliran sungai yang dari tadi kami lewati.
ombak yang besar menghantam batu karang

Muara Kali Kencana
salah satu batu karang di sebelah kiri Kali Kencana
salah satu batu karang di sebelah kanan Kali Kencana
Selesai cemal-cemil dan selonjoran, aku dan Bita mulai menyusuri pantai. Kami memang jalan beramai-ramai tapi semua anak memang sudah bergerombol dari awal. Jadi ya mainnya sama teman-teman segerombolannya sendiri-sendiri. Puas menyusuri pantai dari kiri ke kanan, main air, foto-foto, naik-naik batu karang tibalah waktunya pulang.

Masih dengan jalan yang sama seperti tadi dengan bekal yang tinggal sebotol air mineral untuk berdua. Bedanya setiap gerombolan mulai jalan sendiri-sendiri. Beberapa jalan sudah tidak begitu licin. Waktu tempuh jalan pulang terbilang lebih cepat, hanya 1,5 jam. Mungkin hati, pikiran, jiwa, dan raga sudah mulai menyatu dengan semesta.

Di jalan aku dan Bita ditemani 3 kawan dari Papua yang sudah lama tinggal di Cilacap. Sepanjang perjalanan ngobrol ngalor ngidul tentang Papua dan Cilacap. Mereka sempat bilang kalau aku takut dengan mereka, mereka akan diam. “Eh, jangan begitu lah kakak. Kita semua bekawan,” jawabku. Tidak masalah buatku berkawan dengan siapapun, bukankah kita semua sama-sama manusia. Kalau masalah orang jahat ataupun baik, itu yang salah bukan rasnya, sukunya, golongannya. Tapi pribadi setiap manusia itu sendiri yang membuat ia jahat. Sempat bertukar akun sosmed, tapi saat itu hapeku mati. Jadi belum sempat di add, aku pun agak lupa namanya.
kawan dari Papua

Sampai di dermaga yang tadi kami harus menunggu kapal. Jalannya 1,5 jam, nunggu kapalnya pun 1,5 jam. Hari sudah mulai sore. Matahari sudah mau pamit. Perut sakit. Badan lelah. Mata ngantuk. Pulang, cuma itu kata yang ada di kepala.



Tips perjalanan ke Kali Kencana:

  • Jangan pergi sendirian. Ini penting, kamu mau ilang di tengah hutan apa.
  • Pemanasan dulu sebelum berangkat untuk meminimalisir kram di kakimu.
  • Bawa bekal. Sepanjang perjalanan tidak ada penjual. Kemarin pas pulang beberapa teman ada yang akhirnya minum air sungai. Katanya sih seger-seger aja.
  • Pakai sepatu dan pakaian yang nyaman. Kemarin ada yang pakai high heels, duh mbak pikir hutan itu mall apa? Serius kemarin ada yang pakai heels. Aku tak tau nasib akhir mbak itu gimana.
  • Berdoa dan selalu berpikir positif. Karena penghuninya banyak, banyak yang begitu, ya begitulah, pokoknya begitu.

Translate

Popular Posts