Monday, December 12, 2016

Travelling Itu Sederhana, Pikiranmu Saja Yang Rumit



Tadi siang, saya mendapat pesan dari seorang teman. Isinya, mengajak saya pergi ke tempat wisata. Saya sudah bilang tidak bisa karena ada beberapa kerjaan yang belum selesai. Teman saya tidak percaya karena dia mengajaknya di hari Minggu. Yang pada umumnya semua orang libur berjamaah di hari itu.

Mulailah dia mengeluarkan segala bujuk rayu, yang tetap saja saya tolak. Menariknya adalah bagaimana dia merayu saya. Hampir semua teman saya bila mengajak saya pergi selalu mengeluarkan dalih yang sama. Saya tertawa kecil membacanya dan terpikir, apakah saya memang orang seperti itu?

“Ayolah, kamu kan sering jalan-jalan.”

Hanya karena saya sudah berjalan sampai ke pulau seberang, apa predikat sering jalan-jalan pantas untuk saya? Saya merasa itu tidak cukup. Banyak yang berjalan lebih jauh dan lebih lama dari saya. Apa karena saya sering membagikan foto-foto saya di instagram lantas bisa dibilang traveller? Tentu bukan karena itu. Foto bisa saja dari masa lalu yang dibagikan ulang. Lagian saya posting foto bukan hanya karena fotonya, tapi ceritanya.


Atau karena saya mempunyai banyak waktu? Kalau soal banyak waktu memang benar. Tapi tidak serta merta saya jadi tukang klayaban sesuka hati, tanpa peduli waktu lagi. Terus-terusan pergi juga bisa membuat lelah. Apalagi sering dikasih label “sering jalan-jalan”, sungguh ini menyiksa karena saya tidak seperti itu.

Belum lagi, mereka menuntut saya mengajak ke tempat yang kekinian. Hati saya tergelitik mendengarnya. Mengapa orang-orang punya napsu untuk ke tempat yang dibilang kekinian? Kalau untuk foto yang bagus, saya bisa memfotokan kalian di rumah saja. Biar bisa pamer kah? Mungkin saya juga pernah melakukannya. Tapi apa hasilnya, saya tidak mendapatkan apapun dari itu semua.

Dulu jaman kuliah, saat budaya piknik belum menjadi idola. Saya bertemu salah satu pegawai di Dinas Pariwisata Banyumas, Pak Djatmiko namanya. Waktu itu saya menemani teman saya yang hendak membuat artikel tentang pariwisata di Banyumas. Saya masih ingat beliau sempat berucap dengan logat bicaranya yang ngapak, “Travelling is looking for something different.”

Beliau memberi contoh, kenapa wisatawan mancanegara bisa senang melihat sawah sengkedan di Bali, padahal kita melihatnya sawah biasa? Karena di luar negeri tidak ada sawah sengkedan. Wisatawan tersebut merasa melihat sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sedangkan kita sudah biasa melihat sawah, bahkan mungkin sudah bosan.

Itu contoh yang luas, lebih sederhana lagi beliau mencontohkan, pergi ke warung. Saat kita sedang di kamar dengan ruang yang sempit hanya ada tempat tidur dan lemari pakaian, tiba-tiba disuruh ibu pergi ke warung. Setelah sampai di warung, kita sudah tidak lagi melihat tempat tidur. Tentu di warung kita semua tahu ada penjual dan barang dagangannya yang bermacam-macam. Di warung kita bisa mengobrol dengan penjual atau pembeli yang lain. Sekedar bertegur sapa basa-basi atau mengobrol hangat tentang berita masa kini. Bukankah dengan hal itu kita sudah melihat dan merasakan sesuatu yang berbeda, antara kamar dan warung.

Sesederhana itu.

Demikian juga dengan Paulo Coelho dalam bukunya Like The Flowing River. Paulo menuliskan perjalanan sesederhana berkunjung ke rumah tetangga. Bagaimana menyikapi pohon di pekarangan tetangga yang mengotori halaman rumahnya. Atau hanya sekedar berbagi roti dengan orang yang dia temui di sungai dekat rumahnya. Ada banyak hal yang bisa kita ceritakan walau hanya selangkah saja keluar dari rumah. 

Lalu mengapa kita harus pergi jauh untuk bisa dibilang traveller? Apa harus perginya ke tempat wisata supaya dibilang piknik? Apakah kamu benar-benar bahagia setelah itu semua?

Semua memang tergantung pribadi masing-masing. Tidak semua orang nyaman bepergian jauh. Juga ada saja yang merasa risih mengobrol dengan tetangganya sendiri. Tapi kita bisa menyederhanakan pikiran kita. Sesungguhnya mau ke mana pun tempatnya, kita sendiri yang mengatur mau bahagia atau tidak.

Bepergian jauh itu selalu melelahkan, apalagi membawa beban gengsi yang begitu berat. Tidak pergi ke mana-mana itu membosankan, apalagi kamu mengurung rapat-rapat pikiranmu. Sesekali saja boleh lah pergi yang jauh agar menambah pengalaman. Tapi jangan sampai dipaksakan. Atau sesekali berikanlah ruang di sekitarmu. Agar mereka benar-benar bisa memberi makna di hidupmu.

Ada sebuah jarkon, “Ayo piknik, biar ngga panik.” Tidak semua piknik membuat kita tidak panik. Banyak kok yang mau piknik, sedang piknik, atau sudah piknik malahan tambah panik. Entah karena faktor diri sendiri, orang lain, atau alam semesta yang tidak mendukung. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di jalan.

Melihat posting-an orang lain kadang memang membuat iri. Tapi kita tidak pernah tahu seberapa besar yang mereka korbankan untuk terlihat bahagia seperti itu. Bahagia itu tergantung bagaimana kamu menempatkan dirimu di mana pun kamu berada. Bukan mengikuti standar orang lain.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts