Tadi siang, saya
mendapat pesan dari seorang teman. Isinya, mengajak saya pergi ke tempat
wisata. Saya sudah bilang tidak bisa karena ada beberapa kerjaan yang belum
selesai. Teman saya tidak percaya karena dia mengajaknya di hari Minggu. Yang
pada umumnya semua orang libur berjamaah di hari itu.
Mulailah dia
mengeluarkan segala bujuk rayu, yang tetap saja saya tolak. Menariknya adalah bagaimana
dia merayu saya. Hampir semua teman saya bila mengajak saya pergi selalu
mengeluarkan dalih yang sama. Saya tertawa kecil membacanya dan terpikir,
apakah saya memang orang seperti itu?
“Ayolah, kamu
kan sering jalan-jalan.”
Hanya karena saya
sudah berjalan sampai ke pulau seberang, apa predikat sering jalan-jalan pantas
untuk saya? Saya merasa itu tidak cukup. Banyak yang berjalan lebih jauh dan
lebih lama dari saya. Apa karena saya sering membagikan foto-foto saya di instagram lantas bisa dibilang traveller? Tentu bukan karena itu. Foto
bisa saja dari masa lalu yang dibagikan ulang. Lagian saya posting foto bukan hanya karena fotonya, tapi ceritanya.
Atau karena saya
mempunyai banyak waktu? Kalau soal banyak waktu memang benar. Tapi tidak serta
merta saya jadi tukang klayaban sesuka hati, tanpa peduli waktu lagi.
Terus-terusan pergi juga bisa membuat lelah. Apalagi sering dikasih label
“sering jalan-jalan”, sungguh ini menyiksa karena saya tidak seperti itu.
Belum lagi,
mereka menuntut saya mengajak ke tempat yang kekinian. Hati saya tergelitik
mendengarnya. Mengapa orang-orang punya napsu untuk ke tempat yang dibilang kekinian?
Kalau untuk foto yang bagus, saya bisa memfotokan kalian di rumah saja. Biar
bisa pamer kah? Mungkin saya juga pernah melakukannya. Tapi apa hasilnya, saya
tidak mendapatkan apapun dari itu semua.
Dulu jaman
kuliah, saat budaya piknik belum menjadi idola. Saya bertemu salah satu pegawai
di Dinas Pariwisata Banyumas, Pak Djatmiko namanya. Waktu itu saya menemani
teman saya yang hendak membuat artikel tentang pariwisata di Banyumas. Saya
masih ingat beliau sempat berucap dengan logat bicaranya yang ngapak, “Travelling is looking for something
different.”
Beliau memberi
contoh, kenapa wisatawan mancanegara bisa senang melihat sawah sengkedan di
Bali, padahal kita melihatnya sawah biasa? Karena di luar negeri tidak ada
sawah sengkedan. Wisatawan tersebut merasa melihat sesuatu yang berbeda dari
biasanya. Sedangkan kita sudah biasa melihat sawah, bahkan mungkin sudah bosan.
Itu contoh yang
luas, lebih sederhana lagi beliau mencontohkan, pergi ke warung. Saat kita
sedang di kamar dengan ruang yang sempit hanya ada tempat tidur dan lemari
pakaian, tiba-tiba disuruh ibu pergi ke warung. Setelah sampai di warung, kita
sudah tidak lagi melihat tempat tidur. Tentu di warung kita semua tahu ada
penjual dan barang dagangannya yang bermacam-macam. Di warung kita bisa
mengobrol dengan penjual atau pembeli yang lain. Sekedar bertegur sapa
basa-basi atau mengobrol hangat tentang berita masa kini. Bukankah dengan hal
itu kita sudah melihat dan merasakan sesuatu yang berbeda, antara kamar dan
warung.
Sesederhana itu.
Demikian juga
dengan Paulo Coelho dalam bukunya Like
The Flowing River. Paulo menuliskan perjalanan sesederhana berkunjung ke
rumah tetangga. Bagaimana menyikapi pohon di pekarangan tetangga yang mengotori
halaman rumahnya. Atau hanya sekedar berbagi roti dengan orang yang dia temui
di sungai dekat rumahnya. Ada banyak hal yang bisa kita ceritakan walau hanya
selangkah saja keluar dari rumah.
Lalu mengapa
kita harus pergi jauh untuk bisa dibilang traveller?
Apa harus perginya ke tempat wisata supaya dibilang piknik? Apakah kamu
benar-benar bahagia setelah itu semua?
Semua memang
tergantung pribadi masing-masing. Tidak semua orang nyaman bepergian jauh. Juga
ada saja yang merasa risih mengobrol dengan tetangganya sendiri. Tapi kita bisa
menyederhanakan pikiran kita. Sesungguhnya mau ke mana pun tempatnya, kita
sendiri yang mengatur mau bahagia atau tidak.
Bepergian jauh
itu selalu melelahkan, apalagi membawa beban gengsi yang begitu berat. Tidak
pergi ke mana-mana itu membosankan, apalagi kamu mengurung rapat-rapat
pikiranmu. Sesekali saja boleh lah pergi yang jauh agar menambah pengalaman.
Tapi jangan sampai dipaksakan. Atau sesekali berikanlah ruang di sekitarmu.
Agar mereka benar-benar bisa memberi makna di hidupmu.
Ada sebuah
jarkon, “Ayo piknik, biar ngga panik.” Tidak semua piknik membuat kita tidak
panik. Banyak kok yang mau piknik, sedang piknik, atau sudah piknik malahan
tambah panik. Entah karena faktor diri sendiri, orang lain, atau alam semesta
yang tidak mendukung. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di
jalan.
Melihat posting-an orang lain kadang memang
membuat iri. Tapi kita tidak pernah tahu seberapa besar yang mereka korbankan
untuk terlihat bahagia seperti itu. Bahagia itu tergantung bagaimana kamu
menempatkan dirimu di mana pun kamu berada. Bukan mengikuti standar orang lain.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar