Pulau Nusakambangan, satu-satunya
pulau di kabupaten Cilacap menyimpan sejuta misteri. Dari flora faunanya,
penghuninya, kandungan energi di dalamnya, keindahan alamnya, sampai jodoh yang
entah kemana. Hiya, baper. Sebagian besar pulau ini masih berupa hutan
belantara. Mungkin ini juga yang membuat pulau ini menyimpan sejuta misteri.
Pada kesempatan kali ini aku dan
Bita mencoba memecahkan salah satu misteri itu. Apakah? Kali Kencana. Salah
satu pantai tersembunyi di bagian selatan Nusakambangan. Di sepanjang pulau
Nusakambangan sebenarnya banyak sekali pantai yang bagus-bagus. Hanya tidak
semua pantai dibuka sebagai objek pariwisata. Karena memang sebagian besar
pulau Nusakambangan masih berbentuk hutan belantara.
Kemarin waktu kesana aku dan Bita
tidak hanya berdua. Kami ikut rombongan open trip dari anak-anak Explore
Cilacap. Sekitar 60 orang berkumpul di Areal 70 Pantai Teluk Penyu. Rencana kumpul
jam 8, tapi nyatanya baru naik perahu setengah 10. Sebelum berangkat aku
sempatkan dulu sarapan di warung pinggir pantai. Selembar mendoan dan sebuah
lontong cukup mengganjal perut.
kapal yang mengantar kami ke dermaga sebelum memasuki hutan |
Naik perahu ke dermaga menuju
Kali Kencana sekitar 15 menit. Dermaganya tidak berbentuk seperti dermaga. Malahan
kalau tidak tahu lewat situ paling mikirnya cuma bangunan runtuh. Mending keliatan
bangunannya, runtuhan bangunan itu sudah ditumbuhi semak-semak dan lumut. Kapal
yang aku naiki adalah kapal pertama yang sampai dermaga. Satu kapal berisi 15
orang dan dari kami belum ada yang pernah kesini. “Krik” moment pun terjadi.
keadaan dermaga |
Sambil nunggu anak-anak yang
lain, sempat terbesit pikiran, “Ini beneran kita kesini?”. Tidak ada penunjuk
arah. Jalan setapak pun tidak ada. Hanya ada semak belukar, pohon-pohon besar,
yang diantara itu hanya terbuka sedikit jalan cuma muat satu orang. Itu pun
kaki kita harus membelah rerumputan yang tumbuh liar sepanjang jalan.
jalan masuk menuju Kali Kencana |
Lima menit berlalu, masih “krik”.
Sepuluh menit berlalu, ada satu kapal mendarat di dermaga. Dan tetap tidak ada
satu orang pun diantara kami yang tahu jalan. Lima belas menit berlalu, kapal
ketiga sampai dan hanya satu orang dari panitia yang ikut kapal. Ngobrol sana
sini, diskusi muter-muter akhirnya kami sepakat mulai jalan pelan-pelan hanya
dengan satu pemandu.
“Bismillah, semoga berangkat dan
pulang selamat,” hanya itu doaku ketika mulai memasuki jalan menuju Kali
Kencana. Dari yang tadinya “krik” moment, tiba-tiba jadi “syok” moment. Aku pikir
jalannya hanya membelah rerumputan yang datar, tapi itu cuma dua meter dari
dermaga. Setelah itu jalan menanjak, seperti mendaki gunung dengan tanah yang
basah. Aku langsung mencari ranting pohon sebagai alat bantu.
jalan menanjak di awal perjalanan |
Sudah 10 menit berjalan, “Kuat,
kuat, kuat. Aku pasti bisa. Ngga boleh nyerah. Ambruk. Apalagi pingsan.” Iya sih
berangkatnya rame-rame. Tapi siapa juga yang mau nolongin. Kita semua juga cape
jalan bawa badan sendiri. Sambil berharap ada yang istirahat jadi aku ikut
berhenti istirahat juga. Emang sih, aku jalan di rombongan paling depan. Kalaupun
mau istirahat di belakangku juga masih banyak orang. Tapi tidak ada yang aku
kenal selain Bita dan rombongan depanku ini. Nanti kalau rombongan belakang
juga ninggalin aku bagaimana? Di tengah hutan belantara? Oh, no.
jalan terus menembus semak-semak |
Setengah jam lebih berlalu, jalan
sudah mulai datar, tidak menanjak lagi. Tapi. Bentar. Sayup-sayup diantara
suara kaki yang beradu dengan tanah basah terdengar suara yang di telinga masih
asing. Pemandu yang cuma seorang diri itu memperingat supaya kami jarak
jalannya rapat. Bulu kuduk agak berdiri mendengar suara itu. Clingak-clinguk ke
arah suara juga percuma. Yang terlihat cuma pohon yang lebat dan menjulang
tinggi.
emmm, gitu deh suaranya. hmmmm |
Menembus rerumputan sudah, jalan
licin menanjak sudah, suara aneh sudah, jembatan kayu sudah, jalan di tepian
jurang sudah, nabrak ranting pohon yang menjalar ke bawah sudah, hampir
terpelet sudah, sepatu nancep ketinggalan di lumpur juga sudah. Ngos-ngosan
pasti, baju basah penuh keringat pasti, haus otomatis, kaki pegel belepotan
penuh lumpur jelas. Kurang lengkap apa coba? Apa lagi nih yang belum? Belum sampai
tempat tujuan lah pastinya.
Di tengah hampir putus asa tapi
ngga boleh. Ya, masa sudah setengah jalan mau balik. Kaki terus melangkah walau
yang penting bisa dilangkahkan. Tiba-tiba sebuah semangat timbul. Telinga ini
mendengar sesuatu yang kali ini tidak asing. Suara air mengalir diantara
bebatuan itu terdengar jelas. Segar seketika yang dirasa, padahal sejauh mata
memandang sumber air itu belum terlihat. Suara air memang menenangkan, apalagi
di tengah hutan yang masih asri seperti ini.
Dan benar saja, kami melewati
sungai. Benar-benar jalan di tengah sungai. Tenang saja, sungainya kecil dan
banyak batu besar. Jadi kita bisa berjalan di antara bebatuan atau kalau takut
licin ya jalan di sungainya saja. Sungainya tidak dalam, paling 15 sampai 20
centimeter. Kami istirahat sejenak, duduk di bebatuan. Minum dulu, atur napas,
cuci kaki yang belepotan penuh lumpur, tidak lupa selfie.
istirahat di sungai |
Setelah lima menit istirahat,
kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri sungai, naik ke daratan, ketemu sungai
lagi, ada air terjunnya kecil. Ada yang berhenti lagi, foto-foto, minum, ada
juga yang lanjut. Aku memilih melanjutkan perjalanan. Kali ini jalannya mulai
turun dan licin juga. Hanya saja lebih gelap karena pohon lebih rindang. Dan suara
asing itu muncul lagi, lebih keras. Ya, Tuhan lindungi aku.
air terjun yang kecil |
Tapi kami hanya diam dan tetap
berjalan. Sambil berdoa dalam hati. “Syok” moment sudah lewat. Yang ada hati
sudah mulai ikhlas dengan perjalanan, bersahabat dengan apapun itu yang ada di
jalan. Sedikit berharap semoga lekas sampai tujuan.
Entah sudah berapa lama kaki ini
melangkah. Sampai ketemu sungai lagi, pengin istirahat lagi. Tapi dikasih tau
kalau 15 menit lagi sampai. Niat istirahat diurungkan dengan iming-iming “hampir
sampai”. Jalan lagi, masih hutan. Tapi benar, baru jalan sebentar aroma asin
air laut mulai tercium. Deburan ombak sudah mulai terdengar.
sungai terakhir |
mulai terdengar deburan ombak |
padang rumput sebelum pantai Kali Kencana |
Akhirnya kami keluar dari hutan
dan mendapati padang rumput yang luas denga pohon kelapa yang menjulang tinggi.
Sejauh mata memandang padang rumput yang hijau belum terlihat pantainya. Tapi hati
sudah senang sekali bagai punduk mendapatkan bulan. Dan, finally!!! Jreng,
jreng, jreng. *drum roll*
Inilah pantai Kali Kencana.
Sampai di TKP langsung nggelosor,
selonjoran. Kalau kakiku bisa ngomong mungkin dia lagi sujud syukur, “Alhamdulillah,
akhirnya.” Tak cuma kaki sih, tapi sekujur badan. Aku buka tas ransel ungu
hitam andalanku, ada satu pak roti isi 5 buah dan air minum dua botol. Bita masih
memegang satu botol air mineral yang tinggal seperempat isinya. Ngemil roti
sambil menikmati semilir angin pantai.
Pantai Kali Kencana ini menghadap
langsung ke Samudra Hindia. Jadi tidak heran kalau ombaknya sangat besar. Kiri
kanan pantai ada tebing dan batu yang besar, di tengah agak ke sebelah kanan
juga ada batu besar menjulang ke atas. Tepian pantainya berpasir abu-abu, putih
sekali tidak, hitam pekat pun tidak. Di samping kiri ada muara Kali Kencana,
kalau mau berenang sebaiknya di muara saja yang airnya tenang. Muara ini adalah
aliran sungai yang dari tadi kami lewati.
ombak yang besar menghantam batu karang |
Muara Kali Kencana |
salah satu batu karang di sebelah kiri Kali Kencana salah satu batu karang di sebelah kanan Kali Kencana |
Selesai cemal-cemil dan
selonjoran, aku dan Bita mulai menyusuri pantai. Kami memang jalan
beramai-ramai tapi semua anak memang sudah bergerombol dari awal. Jadi ya
mainnya sama teman-teman segerombolannya sendiri-sendiri. Puas menyusuri pantai
dari kiri ke kanan, main air, foto-foto, naik-naik batu karang tibalah waktunya
pulang.
Masih dengan jalan yang sama
seperti tadi dengan bekal yang tinggal sebotol air mineral untuk berdua. Bedanya
setiap gerombolan mulai jalan sendiri-sendiri. Beberapa jalan sudah tidak
begitu licin. Waktu tempuh jalan pulang terbilang lebih cepat, hanya 1,5 jam. Mungkin
hati, pikiran, jiwa, dan raga sudah mulai menyatu dengan semesta.
Di jalan aku dan Bita ditemani 3 kawan
dari Papua yang sudah lama tinggal di Cilacap. Sepanjang perjalanan ngobrol
ngalor ngidul tentang Papua dan Cilacap. Mereka sempat bilang kalau aku takut
dengan mereka, mereka akan diam. “Eh, jangan begitu lah kakak. Kita semua
bekawan,” jawabku. Tidak masalah buatku berkawan dengan siapapun, bukankah kita
semua sama-sama manusia. Kalau masalah orang jahat ataupun baik, itu yang salah
bukan rasnya, sukunya, golongannya. Tapi pribadi setiap manusia itu sendiri
yang membuat ia jahat. Sempat bertukar akun sosmed, tapi saat itu hapeku mati. Jadi
belum sempat di add, aku pun agak lupa namanya.
kawan dari Papua |
Sampai di dermaga yang tadi kami
harus menunggu kapal. Jalannya 1,5 jam, nunggu kapalnya pun 1,5 jam. Hari sudah
mulai sore. Matahari sudah mau pamit. Perut sakit. Badan lelah. Mata ngantuk. Pulang,
cuma itu kata yang ada di kepala.
Tips perjalanan ke Kali Kencana:
- Jangan pergi sendirian. Ini penting, kamu mau ilang di tengah hutan apa.
- Pemanasan dulu sebelum berangkat untuk meminimalisir kram di kakimu.
- Bawa bekal. Sepanjang perjalanan tidak ada penjual. Kemarin pas pulang beberapa teman ada yang akhirnya minum air sungai. Katanya sih seger-seger aja.
- Pakai sepatu dan pakaian yang nyaman. Kemarin ada yang pakai high heels, duh mbak pikir hutan itu mall apa? Serius kemarin ada yang pakai heels. Aku tak tau nasib akhir mbak itu gimana.
- Berdoa dan selalu berpikir positif. Karena penghuninya banyak, banyak yang begitu, ya begitulah, pokoknya begitu.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar