Kali ini jantungku mulai terbiasa
dengan apa pun yang akan terjadi sepanjang perjalanan. Ini bukan kali
pertama aku bepergian ke tempat asing yang belum pernah sekalipun
aku singgahi. Semesta selalu punya cara. Itu
yang aku yakini agar apapun yang terjadi dalam perjalanan, hati ini bisa berdamai dengan keadaan. Dan semesta kali ini menjatuhkan
pilihannya pada Karimunjawa.
Showing posts with label blogger. Show all posts
Showing posts with label blogger. Show all posts
Tuesday, December 4, 2018
Thursday, May 31, 2018
Wana Wisata Salam Sari - Tempat Wisata di Jalur Mudik Selatan
Bulan spesial ini selalu ditunggu umat muslim di Indonesia. Sambutannya terasa dari jantung ibukota sampai pelosok gang-gang kecil. Bahkan sampai ke tempat sunyi nan asri di tepian pematang sawah. Semua merasakan suasana khas di bulan Ramadan. Dari mulai membeli perlengkapan beribadah sampai makanan khas ramadan. Ada juga yang mengikuti beraneka ragam kegiatan ramadan sesuai dengan tradisi di masing-masing daerah.
Tahukah kamu? Tradisi ramadan di setiap pelosok Indonesia berbeda-beda. Tapi ada satu tradisi di penghujung bulan Ramadan yang dilakukan semua kalangan. Satu tradisi ini tidak memandang bulu, apapun jabatannya, sukunya, rasnya, warna kulitnya, bahkan yang berbeda agama pun ikut merasakannya.
Sunday, January 7, 2018
Pesona Alcatraz-nya Indonesia
Kalian tahu Alcatraz? Tempat yang
konon menjadi penjara paling menyeramkan di dunia. Kali ini saya bukan mau
bercerita tentang Alcatraz. Karena saya juga belum pernah menginjakkan kaki di
sana. Ini cerita tentang tempat yang disebut-sebut sebagai Alcatraz-nya
Indonesia. Ya, itulah Pulau Nusakambangan.
Pulau dengan luas sekitar 210 km2
ini terkenal dengan penjara kelas kakapnya. Total ada sembilan lapas yang ada
di Nusakambangan. Namun sekarang hanya empat yang masih beroperasi, yaitu: Lapas
Batu (dibangun 1925), Lapas Besi (dibangun 1929), Lapas Kembang Kuning (tahun 1950),
dan Lapas Permisan (tertua, dibangun 1908). Dan sudah banyak nara pidana yang
dieksekusi mati di sana. Seram, ya.
Wednesday, November 29, 2017
Jalan Sendiri, Yuk!
Selalu. Sering.
Saya selalu dan sering kali
diberi pertanyaan “Apa ngga takut jalan sendirian?”. Mendengar pertanyaan itu rasanya
seperti sedang makan ditanya, “Lapar, ya?”. Atau sedang tidur ditanya,
“Ngantuk, ya?”. Saya harus jawab apa?
Oke, jalan sendiri memang tidak
seperti kegiatan sehari-hari laiknya makan atau tidur. Tapi, bukankah dari
lahir sampai mati kita memang sendirian? Anak kembar sekali pun, lahirnya
satu-satu. Mati berjamaah sekali pun, dibungkus satu-satu. Tidak ada yang jadi double atau pun triple.
Lalu, kamu masih takut jalan
sendirian?
Saya?
Ya, jelas takut lah. Saya manusia
biasa yang masih punya perasaan. Bukan segelondong daging mati rasa. Hanya
saja-tentu saja-pastinya tingkat ketakutan kita berbeda. Antara 1-10, tingkat
ketakutan saya mungkin 3 atau 4. Sedangkan kamu, bisa jadi 100 dari 1-10.
Saking menyiksanya sampai mengetahui saya yang orang lain melakukan perjalanan
sendiri saja, kamu sudah ketakutan mau mati. Padahal yang berjalan itu saya,
BUKAN KAMU.
Tentang musibah atau pun hal-hal
dalam perjalanan yang tidak diinginkan. Tentu apa pun bisa terjadi, bahkan
tidak perlu kemana-mana hanya berdiam diri di rumah saja, apa pun bisa terjadi.
“Tapi, kan, kalau pergi jauh-jauh nantang maut, cari masalah deh!” Halo!
Memangnya kalau di rumah saja kamu tidak akan punya masalah?
Saya perempuan yang walau ribuan
Kartini bersuara tetap saja, SAYA PEREMPUAN. Katanya, tidak baik jalan sendiri,
kami kaum yang lemah, tidak boleh mandiri, harus manja, dan tabu melakukan
semuanya sendirian apalagi berkata tentang keberanian. PAMALI.
Prinsip hidup setiap orang memang
berbeda-beda. Saya tidak menyalahkan mereka yang penakut. Tidak juga
membenarkan mereka yang pemberani. Karena sebaik-baiknya penakut dan pemberani
adalah mereka yang mampu menghadapi apa pun masalah yang tengah terjadi.
Lalu bagaimana caranya agar bisa
berani jalan sendirian? Atau minimal bisa mengatasi masalah apa pun dalam
perjalanan?
Semuanya bermula dari hati dan
pikiranmu sendiri. Banyak orang yang takut jalan sendirian bukan karena masalah
yang sedang terjadi. Tapi justru terlalu banyak memikirkan hal-hal yang belum
tentu akan terjadi. Bahkan untuk terjadi saja itu tidak mungkin.
Tidak ada perjalanan yang
sempurna. Bahkan rame-rame pun tidak menjamin perjalanmu akan menyenangkan.
Saya sudah mencoba berjalan sendiri dan rame-rame. Sejauh ini jalan sendiri
membuat saya ketagihan.
Justru jalan sendiri lebih banyak
ceritanya. Saya memiliki banyak ruang untuk mengeksplore tempat yang saya
kunjungi dan diri saya sendiri tentunya. Jalan sendiri membuat semua anggota
tubuh saya bekerja. Saya benar-benar merasakan apa itu hidup sebenarnya.
Jalan sendiri bukan sekedar
tentang takut dan berani. Lebih dari itu, jalan sendiri benar-benar melatih
semua macam sifat, sikap dan perilaku kita. Bagaimana menghadapi orang asing?
Bagaimana merawat dan melindungi tubuh dengan baik? Bagaimana menghormati dan
menghargai budaya setempat? Bagaimana mengelola keuangan agar cukup? Dan masih
banyak bagaimana-bagaimana lagi yang lainnya.
Tidak mudah melakukan semua itu.
Tidak semua orang juga bisa melakukannya. Kebanyakan orang takut sendirian
karena takut dikatai orang lain, “Kasian jalannya sendirian.”. Saya justru
bangga bisa jalan sendiri. Sedikit pun saya tidak merasa hidup saya kasihan.
Justru lebih kasihan kalau saya cuma bisa merepotkan orang lain, penakut, dan
tidak mandiri.
Kalau kalian ingin mencoba
berjalan sendiri ke tempat yang baru dan tidak ada seorang pun yang kalian
kenal di sana. Cobalah berlatih yang terdekat dulu. Bukan, bukan ke rumah tetangga.
Tapi latihlah hatimu dulu. Karena segala sesuatu bermula dari hati dan
pikiranmu sendiri.
Tidak dipungkiri kami kaum
perempuan dibentuk peradaban untuk bermanja-manja ria. Saya sering heran
melihat kaum saya sendiri takut dengan hal-hal yang hanya didengar dari orang
lain. Bahkan kejadian pun belum tentu. Tapi heboh takutnya sudah luar biasa.
Mau bagaimana lagi bawaan tanah harus lebay.
Sedangkan kaum sebelah, alias
laki-laki, diberi label berani dari lahir. Padahal banyak loh, laki-laki yang
penakut. Tapi tidak terlihat karena terbungkus rapi oleh anggapan. Mereka
angkuh padahal juga rapuh.
Saya tidak menyalahkan perempuan
yang takut bepergian sendirian. Lalu, merasa jumawa karena saya bisa dengan
mudah melakukannya. Toh, tidak pergi ke mana-mana juga harus punya keberanian.
Berani menahan nafsu tidak tergoda hal-hal indah kata orang di luar sana.
Berani menjadi orang yang tidak banyak pengalaman. Berani memilih kehidupan
dalam zona aman. Tinggal kamu pilih, beranimu mau ditempatkan di mana?
Jadi, kurangi anggapan perbanyak
jalan. Agar kamu tahu apa yang sebenar-benarnya benar.
Label:
blogger,
fotografi,
jalan-jalan,
kasih,
solo traveler,
traveler,
traveling
Saturday, September 30, 2017
Pesan Untukmu, Kekasih
![]() |
Kekasih, bagaimana kabarmu hari
ini? Sudahkah kau membaca pesanku? Aku sedang berada di gerbong 5/12A. Dalam perjalanan
Pasar Senen-Purwokerto yang pernah menjadi awal hubungan kita. Aku kirim pesan
itu tepat setelah kereta berangkat. Tepatnya setelah aku berhasil menata napas
yang berlari-lari dikejar waktu. Kau tau kan, kalau kereta tidak pernah ingkar
waktu meski ekonomi sekali pun.
Pagi tadi aku bangun dengan
terburu-buru. Bukan karena tas yang belum dikemas. Tapi hati ini begitu cemas. Memikirkan
kamu yang tak kunjung memberi kepastian. Padahal kau tau aku tak pernah sedikit
pun membiarkanmu kesepian. Sembilan jam perjalanan akan aku lalui hari ini. Kau
tidak perlu khawatir perjalanan panjang ini tidak akan membosankan untukku.
Bagaimana tidak? Berada di
gerbong ekonomi Serayu terasa begitu dingin dengan pendingin ruangan yang selalu
menyala sepanjang perjalanan. Bajuku yang panas berkeringat karena lari, bisa
tidak lebih dari sejam langsung kembali kering. Belum lagi pemandangan
pegunungan yang hijau menyejukkan mataku.
Kekasih, kau tidak perlu khawatir
aku lupa makan. Tidak, jangan balas pesanku tadi dengan, “Sudah makan belum?”.
Kau harus tau beberapa menit sekali para pramusaji berjalan dari satu gerbong
ke gerbong lainnya. Menjajakan makanan yang banyak jenisnya. Aku tinggal
membelinya satu sebagai sarapan sekaligus makan siang.
Irit? Ah, tidak juga. Kalau kau
tahu, aku bisa membeli dua porsi makanan di luar kereta ini. Tapi aku harus
membelinya hanya seporsi karena ini di atas kereta. Aku tidak ada pilihan untuk
memilih yang lebih murah apalagi menawar. Tidak ada penjual lain selain
pramusaji yang berseliweran tadi. Tidak ada ibuk-ibuk yang berteriak, “Pecel,
pecel, pecel!”. Dan teman-temannya yang mulai terusir dari kereta semenjak
tahun 2013-an.
Kau juga tidak perlu khawatir,
semenjak itu juga keadaan di dalam kereta menjadi aman dan nyaman. Dapat dipastikan
hanya ada penumpang dan petugas kereta saja yang ada di sepanjang perjalanan. Tidak
ada pengamen yang bernyanyi cempreng. Tidak ada copet yang suka mepet-mepet.
Sepi? Iya, apalagi tidak ada kamu
yang sesekali meminjamkan bahu ketika mataku mulai sayup mengantuk. Memang sudah
ada penyewaan bantal yang wangi nan empuk. Tapi itu tidak begitu membantu,
karena tempat duduk yang senderannya berdiri tegak lurus 90o ini tetap
saja membuat punggungku panas. Belum lagi bangku yang busanya mengeras.
Kekasih, seharusnya kau kirimkan
pesan padaku, “Sudah sholat belum?”. Aku akan menghela napas panjang
kelimpungan membalas pesanmu yang satu ini. Bukan karena memang aku belum
pernah bisa sholat tepat waktu. Tapi aku bingung harus sholat di mana. Tenang,
untung saja ada tempat duduk kosong di ujung gerbong. Coba kalau semua tempat
duduk sepanjang gerbong terisi. Aku bisa melewatkan waktu dhuhur, azhar, dan
mungkin saja magrib dalam sehari ini.
Jangan tanya untuk wudhunya
bagaimana? Semua aku lakukan seadanya dalam kamar mandi yang airnya ikut
bergoyang seiring kereta yang berjalan. Aku tahu seharusnya ini bukan
penghalang, apalagi cari-cari alasan. Tapi bolehkan aku berharap bisa beribadah
dengan nyaman?
Kekasih, jangan lupa kau harus
menjemputku tepat waktu. Jangan biarkan aku terlunta-lunta nyaris menginap lagi
di stasiun. Di dalam stasiun memang terjamin keamanannya. Tapi penumpang tidak
dibiarkan berada terus-terusan di dalam stasiun. Aku harus keluar walau hari
sudah malam. Dan di luar stasiun itu tidak ada yang menjamin keselamatanku,
kekasih. Siapa saja bisa menyeretku, memaksa, dan entah apalagi meski aku masih
di dalam pagar stasiun.
Aku tahu ini tidak seberapa
dibandingkan dulu. Tapi boleh kan aku berharap lebih baik lagi? Kau tahu
kekasih, kereta ini bukan baru kemarin sore ada di negeri ini. Ia sudah ada
dari 72 tahun yang lalu, bahkan lebih dari itu. Hanya saja angka 72 adalah
angka resmi PT KAI bergabung dengan NKRI.
Kekasih, kalau kita sudah 72
tahun akan seperti apa? Kita pasti sudah menua dan punya cucu. Cucu kita kelak mungkin akan menemukan jodohnya di kereta super cepat. Kereta yang lebih aman dan nyaman dari pada sekarang. Kereta yang mungkin bukan hanya menghubungkan satu kota ke kota lain tetapi satu pulau ke pulau lain. Kau pasti tahu, kekasih, negeri kita ini kepulauan. Bukan tidak mungkin bila hal itu terwujud.
Tapi bukan itu intinya. Bukan apa-apa saja yang sudah berubah dan kita dapatkan setelah waktu berjalan. Tapi bagaimana kita bisa berproses terus lebih baik melalui segala rintangan. Terus berinovasi seiring perkembangan jaman. Seperti kereta ini, tetap setia mengantar penumpang selamat sampai tujuan.
Tapi bukan itu intinya. Bukan apa-apa saja yang sudah berubah dan kita dapatkan setelah waktu berjalan. Tapi bagaimana kita bisa berproses terus lebih baik melalui segala rintangan. Terus berinovasi seiring perkembangan jaman. Seperti kereta ini, tetap setia mengantar penumpang selamat sampai tujuan.
Aku tahu, aku juga punya
kekurangan, kamu pun demikian. Tapi ingatlah kekasih, orang yang penuh
kekurangan itu bukan mereka yang dalam keadaan buruk. Tapi mereka yang tidak
mau berproses dan tetap terpuruk.
Salam,
-kasih-
Label:
blogger,
giveaway,
Indonesia,
kamu dan aku,
kasih,
kereta api,
lomba,
opini,
tentang kita,
traveler,
traveling
Saturday, September 16, 2017
Ini Dia Spot Menikmati Senja Di Cilacap
“Bro, ini kok ngga sunset-sunset
sih?” celoteh teman di sebelah saya dengan mulut penuh siomay.
“Sunset?” saya mengernyitkan dahi
dengan alis mata kanan sedikit terangkat.
“Iya, kalau sore kan sunset.”
“Hadew, mana ada sunset di sini.
Kamu mau nunggu sampai nenek-nenek juga ngga bakalan keliatan.”
Begitu obrolan saya dengan
seorang teman yang baru hijrah dari Jakarta ke Cilacap. Cilacap memang daerah
di bagian selatan Pulau Jawa. Kalau secara logika, bisa melihat matahari terbit
dengan menengok ke timur dan matahari tenggelam tinggal melihat ke arah barat.
Selesai.
Kenyataannya tidak semua tempat
seperti itu.
Kalau kalian mengenal Teluk Penyu
di Cilacap yang begitu tersohor itu, sesungguhnya si bibir pantai menghadap ke
timur bukan selatan. Tau kan arti dari teluk? Hayolo, jangan bilang lupa. Sama.
Saya pun lupa, tapi tidak usah panik mari kita piknik.
Teluk adalah perairan laut yang
menjorok ke daratan. Begitu pengertian singkat dari teluk, hasil saya piknik di
maha dewa google. Jadi di Teluk Penyu
ada bagian dataran yang melengkung. Itulah mengapa ada bagian bibir pantai yang
menghadap ke timur. Bagian yang menghadap ke timur inilah tempat di mana kita
bisa menikmati matahari terbit.
Jadi kalau ada yang mengajakmu, “Nyanset,
yuk, ke Teluk Penyu!” Apalagi sampai posting
foto matahari di Pantai Teluk dengan caption
”sunset”. Hadew, ini sih ocehan people bumi datar jaman now. Mau nunggu kiamat biar bisa lihat matahari terbenam dari timur
kali. Ya monggo, aku sih ogah. Bumiku bulat, kok.
Saya belum pernah menikmati
matahari terbit di Teluk Penyu ini. Bahkan matahari terbit di belahan dunia
mana pun, nyaris belum pernah saya nikmati. Maksudnya, motret matahari terbit
atau sekedar menikmati bangunnya mentari. Malas bangun pagi? Tidak juga. Hanya
malas keluar kandang pagi-pagi buta. Pernah mencoba tapi selalu hasilnya tak
seindah yang dibayangkan.
Saya kaum senja, yang lebih
memilih menunggu dari pada mengejar. Kalau berbicara tentang senja, behhhh, mau
di mana pun saya akan bilang, “Ayo!”. Pasti saya langsung berangkat tanpa
kemalasan yang menyertai. Sudah baca senja di Bukit Merese yang membuat air
mata saya berlinang? Baca dong, di sini ya.
Lalu kalau mau menikmati senja di
Cilacap yang syahdu, haru, dan mendayu-dayu ada di mana?
Pelabuhan Sleko
Pelabuhan ini letaknya tidak jauh
dari pusat kota Cilacap. Lurus terus ke arah timur kalau kalian dari alun-alun.
Di ujung jalan kalian akan menemui plang “Selamat Datang di Pelabuhan Sleko”.
Masuk saja cari tempat parkir yang tidak jauh dari dermaga.
Sudah beberapa kali saya ke
Pelabuhan Sleko ini. Tapi saya tidak tahu jadwal kapal yang ke atau dari
pelabuhan. Setiap kali naik kapal dari Pelabuhan Sleko ini selalu rombongan,
jadi sudah pasti kapalnya sewaan. Seperti sewaktu saya ke Pantai Rancahbabakan
yang berada di ujung barat Pulau Nusakambangan.
Nah, kalau kalian hanya sekedar
ingin menikmati senja di Pelabuhan Sleko ini datanglah saat sore menjelang. Ya,
iyalah masa pagi-pagi nyari senja. Saran saya datanglah sekitar jam 5. Memang
matahari belum begitu turun. Malahan terkadang masih panas. Tergantung musim
juga sih.
Saya dua kali ke sini untuk
sekedar menikmati senja. Yang pertama sedikit gagal. Sebenarnya cuaca sedang
bagus-bagusnya. Apa daya, ketika waktunya tiba, awan menutupi senja yang sedang
cantik-cantiknya. Kedatangan kedua, membuat saya takjup tidak bisa
berkata-kata. Senja yang bulat cantik sempurna dengan kapal yang hendak pulang
ke peraduan.
Dari kedua waktu yang berbeda
itu, ada satu hal yang sama. Kedatangan kapal tangker! Bila kalian tidak suka
berselfie ria, kapal tangker ini bisa menjadi hal yang dinanti. Seperti menanti
seseorang yang telah lama pergi. Ia akan ada walau rasa tak sama lagi.
Sesungguhnya senja kali ini tidak
memiliki makna yang begitu berarti untuk saya pribadi. Seolah-olah sudah ribuan
senja saya temui, semuanya sempurna sampai tidak menemui makna. Tapi senja
tetaplah senja, mau jutaan kali datang tetap tak akan kehilangan panggung. Ia
akan tetap berdansa dengan segala macam romansa. Mengalunkan nyanyian untuk
jiwa yang kesepian. Memainkan peran sebagai tokoh yang selalu dirindukan.
Merayakan hingar-bingar bak petasan yang menggelegar.
Pantai Sodong
Tempat kedua yang saya sarankan
tapi tidak saya sarankan. Kok seperti tidak niat? Iya, sampai detik ini saya
masih mendengar perlakuan tidak nyaman di pantai yang satu ini. Kalian bisa
membacanya di sini untuk lebih tahu apa yang pernah saya alami. Dan hal serupa
masih saja berjalan dengan baik sampai saya menulis ini.
Pantai Sodong terletak di Desa
Karangbenda Kecamatan Adipala. Kurang lebih berjarak 25 km dari pusat kota Cilacap
ke arah timur. Kalian bisa tahu arah jalannya dari postingan saya tentang View Gunung Selok. Yap, Pantai Sodong dan Gunung Selok masih satu lokasi.
Hamparan pantai yang kalian lihat
di View Gunung Selok itu adalah Pantai Sodong. Pantai dengan panorama komplit
ini sebenarnya bisa menjadi primadona. Sayang, ah, kalian baca saja postingan
saya tautkan pertama.
Bagaimana tidak menjadi
primadona?
Pantai Sodong tepat dibawah
Gunung Selok dengan aliran sungai dan persawahan yang memisahkannya. Di tepian
pantai banyak ditumbuhi pohon cemara yang berjejer teduh. Apalagi kalau
datangnya sore hari menjelang senja.
Kalian akan melihat pemandangan
seperti ini:
![]() |
Senja horey di Pantai Sodong. |
Waktu saya datang memang bukan saat
yang tepat karena senjanya tertutup awan. Kalau kalian datang di waktu yang
tepat, mungkin akan lebih bagus mendapatkannya. Tentang kesannya, ya,
tergantung perginya sama siapa.
Bukankah sebaik-baiknya
perjalanan bukan tentang pemandangan. Tapi tentang manusia yang hidup,
menghidupi, dan dihidupi karenanya.
Dan, bila kalian bertanya padaku,
“Senja mana yang paling melekat di hati?”. Semuanya! Bahkan ketika cahaya
jingga menyelinap masuk lewat jendela. Yang saya nikmati pergantian warnanya
ketika baru bangun tidur di sore yang enggan. Tetap meninggalkan rasa di dada.
Entah sendu, syahdu, ragu, atau malu.
NB: Dan tentang
senja di Cilacap, selanjutnya pasti ada lagi. Tungguin part selanjutnya, ya! (Ini adalah penutupan sebagai upaya agar
dibilang travel blogger) (padahal,
nganu) (apalagi judulnya, duh!)
Label:
blogger,
Bukit Merese,
ciLAcap,
Indonesia,
jalan-jalan,
Jawa Tengah,
kasih,
pantai,
senja,
traveler,
traveling
Friday, July 14, 2017
Makanan, Bukan Sekedar Makan
Bagi saya, makanan bukan sekedar
benda yang membuat lapar, masuk ke mulut, dikunyah, lalu ditelan, dan hilang
laparnya. Lebih dari itu ada banyak hal yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
makanan. Menceritakan makanan bukan lagi sekedar rasa tapi juga makna.
Ini semua adalah proses dari
sebuah perjalanan. Dulu saya sama seperti kalian semua, menganggap makanan
hanya sebatas benda yang dimakan. Tetapi itu semua berubah semenjak dua tahun
yang lalu. Apalagi saya menjadi orang dibelakang layar akun media sosial yang
mengangkat tema kuliner. Hal ini membuat saya mengenal makanan khas Indonesia
yang beraneka ragam.
Awal memulai semua itu tentu bukan
hal yang mudah. Berkali-kali saya dicibir terutama dalam hal memfoto makanan.
Saat seseorang makan di tempat makan, umumnya langsung saja menyantap makanan
yang dipesan. Tapi saya selalu memfotonya terlebih dahulu. Orang lain
menganggap itu tidak penting tapi saya berkepentingan dengan hal itu.
Belum lagi sesungguhnya saya
tidak hobby makan atau tahu tentang dunia perkulineran. Tapi semakin hari,
semakin banyak tahu. Membuat saya menyadari bahwa makanan tidak sesederhana
yang orang lihat. Ada beberapa hal yang mempengaruhi dan dipengaruhi karenanya.
Dan hal-hal tersebut antara lain:
Kesehatan
Banyak ahli gizi yang membuat
penelitian tentang makanan. Dari kandungannya, manfaatnya, sampai dampak-dampak
kesehatan akibat dari sebuah makanan. Saya bukan ahli gizi, jadi apa yang saya
tulis tentang kesehatan sebuah makanan bukan berisi data-data ilmiah.
Cobalah kita sama-sama amati.
Mengapa jaman sekarang banyak sekali usia muda yang sudah terserang penyakit
berat? Kalau orang bilang, penyakit-penyakit itu “penyakit orang tua”. Seperti
diabetes, kolesterol, stroke, dan masih banyak lagi penyakit lainnya.
Apa sebenarnya penyebab fenomena
ini?
Hati dan pikiran. Banyak orang
yang terlalu memikirkan apa yang dia makan sampai dengan enaknya menghina
makanan. Coba kalian pikir, sepiring nasi di depan kita sudah melewati berapa
keringat, kerja keras dan dedikasi? Bahkan banyak yag sudah berkorban segenap
jiwa raga hanya untuk sepiring nasi. Tapi sampai di depanmu dengan teganya
kalian hina.
Saya pernah duduk di warung nasi
goreng. Ada seorang pembeli datang dengan emosi hanya karena di dalam nasi
gorengnya ada daun bawang segelintir. Setelah pergi saya mengobrol dengan
penjual. Dari dia saya tahu kalau pembeli baru saja operasi usus buntu dan
punya riwayat maag kronis.
Tidak apa-apa kamu tidak suka
atau tidak mau memakan sebuah makanan. Tapi jangan sekali-kali menghinanya.
Karena sehat yang sebenarnya datang bukan dari pola makan yang baik. Tapi dari
hati dan pikiran yang baik. Orang terlalu sibuk mengkritisi ini-itu, lupa kalau
sedang menghina.
Keadaan alam
Perjalanan membuat saya mengenal
bahwa setiap daerah memiliki ciri khas makanan yang berbeda-beda. Terutama yang
dipengaruhi keadaan alam. Masyarakat yang tinggal di pegunungan dengan pantai
tentu memiliki ciri khas makanan yang berbeda. Masyarakat pegunungan umumnya
memanfaatkan hasil bumi. Sedangkan masyarakat pesisir pantai banyak yang
membuat olahan dari bahan dasar ikan. Sebenarnya ini adalah usaha dari manusia
bertahan hidup dengan memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya.
Tidak hanya jenis makanan,
keadaan alam juga mempengaruhi rasa dan cara pengolahan. Contohnya saja
mendoan. Makanan khas Indonesia yang satu ini bisa kita jumpai di daerah ngapak
atau sekitar Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga, dan sekitarnya. Tapi di
semua daerah itu mendoannya berbeda-beda.
Di Wonosobo, mendoan lebih
dikenal dengan tempe kemul. Tepungnya tebal dan disajikan masih basah dengan
minyak. Hal ini dipengaruhi karena Wonosobo yang daerah pegunungan berhawa
dingin. Sedangkan di daerah Cilacap, mendoan dimasak lebih kering dan tempe
mendoannya juga lebih lebar. Padahal bumbu dan bahannya sama semua.
Budaya
Indonesia terdiri dari 1.340 suku
bangsa menurut data dari BPS berdasarkan Sensus Penduduk 2010. Setiap suku
memiliki kebudayaan, ritual adat, dan acara peringatan yang berbeda-beda. Dan
sering kali setiap acara mengikutsertakan makanan sebagai media utama atau
pelengkap.
Banyak makanan yang menjadi
simbol kemakmuran, kesuksesan, atau mengandung doa dan harapan. Tidak hanya
makanannya saja tapi juga cara mengolah dan memakannya memiliki makna
tersendiri.
Di satu daerah bisa jadi sebuah
makanan dianggap suci dan tidak boleh dimakan. Tapi di daerah lain bisa dengan
mudah dijumpai. Ini adalah hal yang wajar. Menjadi tidak wajar ketika hati
kalian diselimuti rasa benci.
Ekonomi
Kalian semua pasti tahu kalau
makanan bisa menjadi sumber ekonomi seseorang. Banyak pengusaha muda yang
membuat berbagai macam inovasi dalam bisnis kuliner. Ini juga yang berpengaruh
pada saya secara tidak langsung walau saya bukan pengusaha kuliner. Hanya
membantu teman-teman mempromosikan usahanya.
Kalau saya membahas untung dan
ruginya, itu biasa. Setiap usaha punya perhitungannya masing-masing. Banyak
pengusaha kuliner yang menganggap usaha kuliner adalah usaha kecil-kecilan.
Tidak memikirkan strategi bisnis, branding
produk, pemasaran, dan yang paling utama etika bisnis.
Saya beberapa kali dianggap
sepele dan tidak dihargai ketika bertemu pedagang/pengusaha kuliner. Padahal
saya bisa dengan mudah menghancurkan usaha mereka kalau saya bagikan di media
sosial. Dengan saya yang bisa berpengaruh pada peningkatan penjualan saja,
mereka tidak peduli. Bagaimana bisa memperlakukan pelanggan dengan baik?
Dan yang membuat miris lagi
mereka adalah pengusaha kuliner khas daerah. Ini bisa jadi menurunkan daya beli
masyarakat. Dan bukan hal yang tidak mungkin kuliner khas daerah ini bisa
punah. Apa harus diakui negara lain dulu baru kita peduli dengan makanan khas
Indonesia?
Saya sangat mau dan ingin kita
maju bersama-sama. Saya sangat senang kita mengobrol sambil minum kopi atau
icip-icip untuk membicarakan banyak hal tentang kuliner. Saya tidak pernah
berpikir berapa yang saya dapatkan atau keluarkan dengan mengulas sebuah produk
kuliner. Adalah sebuah kebanggaan bagi saya mendengar makanan yang saya ulas
kemudian bisa laris dan berkembang.
Cinta
Ini sebenarnya yang paling utama
dari semua hal yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh makanan. Cinta.
Memikirkan berapa butir cinta dalam sepiring nasi, berapa tetes rindu dalam
secangkir kopi, berapa kenangan yang tersembunyi di balik lengkuas yang
menyamar rendang. Tidak akan habis untuk bercerita tentang hal ini.
Setiap tempat yang saya singgahi
dan makanan yang saya cicipi punya ceritanya sendiri. Ada pasangan yang membuka
usaha kuliner bersama-sama. Ada juga yang bertemu karena pernah mendorong
gerobag cincau bersama. Ada seorang anak kecil yang menunggu ayahnya di samping
gerobag soto sambil belajar membaca. Ada juga anak yang tidak pernah pulang
kampung, hanya bisa mengirim parcel untuk orang tuanya.
Setiap melihat cinta diantara
mereka, terselip doa dari saya semoga apa pun yang saya tulis dan bagikan bisa
terus memupuk cinta mereka. Saya tidak bisa membayangkan sebiji kopi bila
dipetik tanpa cinta. Pasti pahitnya sampai relung jiwa. Saya tidak tahu apakah
rendang bisa matang, kalau yang memasak tidak mencintai pekerjaannya.
Indonesia ini kaya akan segala
hal dari alam, budaya, suku, bahasa dan pasti makanannya. Lalu, mengapa kita
juga tidak boleh kaya akan cinta? Kalau cinta tidak bisa menyatukan kita. Ayo
makan bersama agar makanan khas Indonesia makin lestari dan tetap terus terjaga.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Translate
Popular Posts
-
Tadi siang saya pergi bersama teman. Perjalanan kami terhenti tiba-tiba karena macet. Macet di daerah kami adalah hal yang luar biasa, tid...
-
Selamat datang di Kemit Forest Tidak ada perjalanan yang mulus, baik-baik saja. Pasti ada saja yang terjadi, entah sebelum, saat, a...
-
Naik-naik ke puncak gunung Tinggi-tinggi sekali Pernahkah kalian mendengar sepenggal lirik lagu itu? Lagu yang sangat populer saat...
-
Cilacap merupakan kabupaten terluas di Jawa Tengah. Penduduk di Cilacap sebagian besar berbahasa Jawa Ngapak. Beberapa diantaranya berbaha...
-
Cilacap adalah kabupaten terluas di Jawa Tengah. Luas wilayahnya 6,2 % dari total luas Jawa Tengah atau lebih tepatnya 2.142,59 km 2 . Cil...